JAKARTA, KOMPAS.com — Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta menuai penolakan dari pelaku usaha lintas sektor, mulai dari industri perhotelan dan restoran hingga pedagang pasar. Sejumlah ketentuan dalam draf regulasi tersebut dinilai berpotensi menghambat pemulihan ekonomi dan menekan pendapatan pelaku usaha, khususnya di tengah kondisi daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono menyampaikan, industri perhotelan dan restoran di Jakarta masih menghadapi tekanan berat. Baca juga: Pedagang Pasar Resah Omzet Turun akibat Penerapan Perda KTR UNSPLASH/POINT3D COMMERCIAL IMAGING LTD. Ilustrasi hotel, kamar hotel. Tingkat okupansi hotel, menurut dia, belum kembali ke level sebelum pandemi, sementara biaya operasional terus meningkat. “Bagi industri hotel, kondisi saat ini memang masih cukup berat. Banyak hotel masih tertatih-tatih karena beberapa hal: okupansi belum kembali stabil, biaya operasional seperti listrik dan tenaga kerja terus naik, sementara daya beli masyarakat masih lemah,” ujar Sutrisno dalam keterangannya, Senin (15/12/2025). Ia menilai, penerapan aturan KTR yang terlalu ketat berisiko menambah beban bagi pelaku usaha yang tengah berupaya bertahan dan bangkit. Sutrisno menegaskan, PHRI tidak berada pada posisi menolak kebijakan pemerintah, termasuk regulasi terkait pengendalian rokok. Baca juga: Prabowo: Pertama Kali Dalam Sejarah, 33 Hotel-Resor RI Dapat Bintang Michelin Namun, ia meminta agar penyusunan kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi riil di lapangan. “Karena itu, kami bukan sedang menolak atau melawan kebijakan pemerintah. Yang kami minta hanyalah agar kondisi riil di lapangan juga didengar. Pelaku usaha berharap ada ruang dialog supaya kebijakan yang dibuat tidak malah membebani industri yang sedang berusaha bangkit,” tegasnya.