JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai penerapan lisensi blanket (blanket license) dalam penghimpunan royalti musik menjadi sumber permasalahan dalam tata kelola royalti di Indonesia.Sekjen PHRI, Maulana Yusran, mengatakan lisensi blanket memaksa pengguna, seperti hotel yang memutar musik latar (backsound), untuk membayar royalti tanpa kejelasan lagu siapa yang sebenarnya diputar dan siapa pencipta yang berhak menerima."Kami misalnya menciptakan lagu sendiri, memutar di tempat usaha sendiri, toh juga harus membayar ke LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional),” kata Maulana saat hadir di Rapat Baleg DPR RI untuk RUU Hak Cipta beberapa waktu lalu.Menurutnya, kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar dari sisi pengguna karya cipta lagu dan/atau musik.Sistem tersebut, menurut PHRI, juga menjadi pemicu keributan besar yang dalam beberapa tahun terakhir muncul ke publik.Menurut Maulana, banyak pelaku usaha yang menghentikan pemutaran musik karena tidak sanggup membayar tagihan royalti yang tidak jelas hitungannya. BACA JUGA: Dampaknya, musisi home band yang hidupnya 75 persen bergantung pada ekosistem Hotel, Restoran, dan Kafe (Horeka) ikut terancam karena pihak pengguna enggan mengambil risiko.Lebih lanjut, Maulana juga menyatakan pandangannya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021, yang disebut banyak bertentangan dengan UU Hak Cipta itu sendiri."Seharusnya dasar hukum itu tidak boleh, PP itu tidak boleh melampaui daripada Undang-Undang tersebut,” tuturnya. “Nah, itu yang kami pahami.”Salah satu poin krusial yang digarisbawahi adalah Pasal 88 ayat 2(b) dan 2(c) dalam konteks pemungutan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).PHRI menyoroti praktik di mana LMK dapat memungut royalti dari pencipta yang bahkan belum menjadi anggotanya. Lebih jauh, dana royalti yang dipungut dari pencipta non-anggota tersebut dapat disimpan, diumumkan, dan berpotensi menjadi milik LMK."Ini menjadi salah satu poin yang bermasalah," tegasnya.PHRI pun mendesak gevaluasi total terkait regulasi, terutama masalah tarif dan pola pemungutan yang dinilai bermasalah, serta segera merampungkan Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) agar tidak terjadi lagi kericuhan di masa depan.Solusi yang ditawarkan adalah mengadopsi model yang sudah diterima masyarakat, seperti Spotify atau YouTube, di mana pembayaran dan distribusi jelas berdasarkan lagu yang diputar, bukan sistem blanket yang kabur.