NusaBali.com - Gubernur Koster (tengah) diapit Ketua Umum BPP PHRI Hariyadi BS Sukamdani (kiri) dan Ketua BPD PHRI Bali Cok Ace. –NGURAH 08 Dec 2025 18:57:02 • 730 DENPASAR, NusaBali.com – Gubernur Bali Wayan Koster mempertimbangkan melakukan penghentian layanan Airbnb dan sejenisnya yang dianggap merugikan daerah dan akomodasi resmi akibat pola sharing economy-nya memakmurkan akomodasi ilegal. “Ini akan dikaji dan akan kami ajukan untuk disetop,” kata Koster dalam Musda XV BPD PHRI Bali di Sanur, Denpasar, Rabu (3/12/2025). Gubernur menilai, Bali telah kehilangan pendapatan daerah akibat keberadaan penginapan ilegal yang dipasarkan secara daring melalui online travel agent (OTA) seperti Airbnb. Selain itu, akomodasi resmi juga kena getah dari pertumbuhan akomodasi ilegal ini. Koster mengungkap, Airbnb memungkinkan orang yang menyewa properti orang lain baik itu apartemen, rumah, maupun vila—menyewakan lagi properti itu sebagai penginapan ilegal kepada wisatawan di platform-nya. Kata dia, praktik yang kebanyakan dilakukan WNA ini tidak berizin dan tentunya tidak membayar pajak. “Wisatawannya naik, tapi tingkat hunian (hotel) tidak selaras dengan jumlah kedatangan wisatawan ke Bali. Begitu juga pendapatan daerah,” ungkap Gubernur Bali asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini. Sementara itu, Ketua Umum BPP PHRI Hariyadi BS Sukamdani menjelaskan praktik yang dilakukan ini merupakan pola sharing economy dan sedang menjadi permasalahan di seluruh dunia. Kata dia, Singapura adalah salah satu yang pernah menghadapi permasalahan ini. “Permasalahannya adalah mereka menjual (kamar) itu tidak dalam kaidah akomodasi yang sebetulnya,” jelas Hariyadi yang juga President of ASEAN Hotel and Restaurant Association (AHRA) ini. Kata Hariyadi, Singapura kini punya ekosistem akomodasi yang sehat setelah menahan Airbnb. Ia menjelaskan, akomodasi harian di Negeri Singa harus berbentuk hotel. Sedangkan, apartemen hanya untuk masa tinggal lama atau berkontrak di atas tiga bulan. “Salah satu kuncinya adalah menahan Airbnb ini dan dikembalikan kepada regulasi yang ada,” beber Hariyadi. Di Bali, kaidah akomodasi tersebut sudah dilakukan dari pemilik properti kepada penyewa pertama. Sedangkan, penyewaan properti terhadap penyewa kedua luput dari pengawasan. Sehingga, terjadi praktik ilegal dengan pola sharing economy ini. Praktik ilegal tersebut belum termasuk praktik akomodasi yang memang sudah ilegal di awal seperti misalnya menyalahgunakan izin bangunan. Bangunan berkedok non komersial seperti rumah tinggal/hunian, di lapangan beroperasi secara komersil menjadi akomodasi. Di sisi lain, Koster dan Hariyadi sepakat bahwa tidak semua OTA nakal. OTA yang perlu disetop adalah yang membantu memasarkan akomodasi ilegal. Sedangkan, bagi OTA yang tertib tidak akan masuk dalam rencana penyetopan ini. “Regulasinya kita ada, cuman pengawasan di lapangan tidak jalan. Kita akan lihat apakah akan terus mengganggu karena Airbnb ini bermasalah di banyak negara. Tentu kalau sampai tidak bisa diatur, itu hak pemerintah untuk nyetop,” tandas Hariyadi. *rat Penulis : Editor : lan Halaman: 1 Komentar Berita Terkait Sponsored Baca Juga Cover Hari Ini Nusa Ning Nusa Kolom Konsultasi Pojok Iklan