DENPASAR, NusaBali.com – Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati resmi terpilih lagi sebagai Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali untuk kelima kalinya dan menjadi tokoh terlama memimpin organisasi para pemilik hotel dan restoran di Pulau Dewata.Ya, tokoh Puri Agung Ubud ini pertama kali terpilih menjadi Ketua PHRI Bali pada periode 2005–2010, dua dekade silam. Kini, kepemimpinannya akan berlanjut sampai 2030 atau menuju 25 tahun setelah terpilih lagi pada Musda XV BPD PHRI Bali di Sanur, Denpasar, Rabu (3/12/2025). Ketua Steering Committee Musda XV BPD PHRI Bali Perry Markus menuturkan, Cok Ace memang menjadi tokoh terlama yang memimpin PHRI Bali. Hal ini disebabkan dua hal yaitu selain memang sudah menjabat selama empat periode, juga lantaran adanya perubahan AD/ART PHRI secara nasional. “Sebelum perubahan AD/ART di Munas sekitar tahun 2000-an, periode Ketua PHRI itu dibatasi dua periode. Setelah adanya perubahan karena di daerah lain itu hotel tidak banyak sehingga susah mencari orang—periodenya tidak dibatasi atau jika masih mampu dan memenuhi syarat, diperbolehkan mencalonkan lagi,” jelas Perry. Oleh karena itu, terkonfirmasi bahwa sepanjang sejarah 15 Musda PHRI Bali ini belum ada tokoh yang terpilih lebih dari dua kali. Sedangkan, Cok Ace sendiri terpilih sebanyak lima kali termasuk di Musda XV BPD PHRI Bali ini. Cok Ace mulai memimpin PHRI Bali pada salah satu masa paling sulit bagi pariwisata Bali yakni peristiwa Bom Bali II yang terjadi pada 1 Oktober 2005. Kala itu, Bali dan pariwisata Pulau Dewata belum pulih benar dari tragedi serupa yaitu Bom Bali I yang terjadi tiga tahun sebelumnya. “Saya terpilih pertama kali untuk periode 2005–2010, di mana saya dikejutkan Bom Bali II yang mana mempertaruhkan citra pariwisata kita karena itu kejadian kedua kali,” ungkap Cok Ace kepada NusaBali.com, Rabu siang. Kata mantan Wakil Gubernur Bali (2018–2023) ini, Bom Bali I tahun 2002 masih dianggap musibah di mata dunia. Namun, ketika peristiwa yang sama terjadi kedua kalinya, menjadi tanda tanya bagi dunia internasional soal keamanan berwisata di Bali. Bali pun terancam travel warning, terutama dari Pemerintah Jepang. Sebab, kala itu, pangsa pasar terbesar wisatawan mancanegara bagi Bali adalah wisatawan asal Negeri Matahari Terbit. Menurut BPS, Jepang mendominasi 22,36 persen kunjungan internasional ke Pulau Dewata pada 2005—mengalahkan Australia di posisi kedua. “Sehingga, pada saat itu saya bersama Bapak Gubernur Dewa Made Beratha ke Jepang untuk memberi penjelasan sehingga Bali tidak kena travel warning,” beber pendiri Tjampuhan Group ini. Di bawah kepemimpinan Cok Ace, hotel dan restoran di Bali bangkit bersama dan ia menyebut periode ketiganya yakni 2015–2020 menjadi masa keemasan akomodasi di Bali. Selama periode tersebut, okupansi hotel tinggi karena penyelenggaraan event di Bali sedang booming. 2018 IMF–World Bank Annual Meetings menjadi salah satu yang terbesar. Pada periode keempat, 2015–2020 ini, Cok Ace digaet Ketua DPD PDIP Bali Wayan Koster untuk mendampinginya di Pilgub Bali 2018. Cok Ace yang juga mantan Bupati Gianyar (2008–2013) ini pun berhasil terpilih sebagai Wakil Gubernur Bali mendampingi Koster selama satu periode. Setelah bangkit dan mencapai masa keemasan era akomodasi Bali, Cok Ace menuturkan bahwa periode keempatnya, 2020–2025, sebagai Ketua BPD PHRI Bali merupakan masa paling sulit. Sebab, Covid-19 menerjang dunia tahun 2020 dan mematikan industri perjalanan. Hotel-hotel di Bali pun sepi dan kelimpungan. “Covid-19 ini pengalaman luar biasa bagi saya—bagaimana saya harus menenangkan anggota, jangan sampai bergejolak. Saya sadar juga bahwa mereka kesulitan untuk tidak mem-PHK. Astungkara, itu juga bisa kita lewati di Bali,” tutur Cok Ace. Sementara itu, tantangan baru menunggu Cok Ace di periode kelimanya ini. Hotel konvensional dan resmi kini menghadapi kepungan properti yang dibangun WNA. Properti tanpa basis legal sebagai usaha akomodasi maupun terdaftar objek pajak itu lantas disewakan dan dipasarkan dengan skema sharing economy via online travel agent (OTA). Hotel yang tertib legalitas dan pajak dibuat berdarah-darah karena kondisi ini lantaran okupansi menurun akibat wisatawan mulai beralih ke akomodasi ilegal yang luput dari pajak dan pengawasan. Sedangkan, dengan pemasukan yang menurun, akomodasi resmi memiliki beban legal dan pajak yang tetap. “Dari sekitar 16.000 akomodasi di Bali, tapi sampai sekarang yang tercatat sebagai anggota PHRI baru 370. Ini menyulitkan bagi kami ketika memberi masukan kepada pemerintah terkait lama tinggal dan lain-lain,” tegasnya. *rat