JAKARTA, KOMPAS — Industri pariwisata mengapresiasi keputusan pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 yang akan ditanggung pemerintah (DTP). Namun, mereka berharap pemerintah juga membantu meningkatkan permintaan pasar. ”Besaran (insentif) cukup, tetapi lebih kepada cashflow yang lebih berkelanjutan. Yah, tidak cepat (membuat kondusif) karena mungkin harus mendongkrak ekonominya dulu, sehingga daya beli naik dan itu pastinya mereka banyak kewajiban lalu saat sulit,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Sutanto ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (18/9/2025).Eddy memperkirakan kondisi perekonomian baru akan membaik pada triwulan I-2026. Situasi akan tergolong normal karena penyerapan anggaran semestinya lebih baik. Jika ini terjadi, ia yakin perekonomian akan membaik.Saat ini, Apkrindo beranggotakan hampir 100 kafe dan restoran. Jumlah tenaga kerja yang terserap diperkirakan puluhan ribu orang.Pemerintah pada Senin (15/9/2025) mengumumkan paket ekonomi untuk menggerakkan roda ekonomi. Terdapat 17 program dalam tiga kluster yang akan direalisasikan pada 2025 dan 2026.Kluster pertama adalah delapan program akselerasi program 2025. Salah satunya, perluasan PPh 21 DTP untuk pekerja di sektor pariwisata, khususnya sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Program ini berlanjut pada 2026. Mereka yang mendapatkan insentif ini adalah pekerja dengan upah di bawah Rp 10 juta. Artinya, bagi penerima insentif, gaji mereka tidak akan dipotong PPh 21 sebagaimana berlaku selama ini. Khusus perluasan PPh 21 DTP bagi pekerja sektor pariwisata akan diberikan kepada 552.000 penerima manfaat. Seluruh PPh 21 akan ditanggung penuh selama tiga bulan, sisa tahun pajak 2025 dengan estimasi anggaran Rp 120 miliar. Pada 2026, program berlanjut dengan estimasi anggaran Rp 480 miliar untuk 12 bulan.Khusus perluasan PPh 21 DTP bagi pekerja sektor pariwisata akan diberikan kepada 552.000 penerima manfaat.Ketua Apkrindo DPD Jawa Timur Ferry Setiawan mengatakan, pelaksanaan pemberian insentif ini mesti dikawal agar tepat sasaran dan tidak menambah beban administrasi pengusaha. Langkah mengawal ini mencakup dari proses sosialisasi, prosedur pengajuan, hingga teknis implementasi. ”Kami juga mendorong agar insentif ini bisa berkelanjutan, tidak hanya bersifat jangka pendek. Ke depan, perlu ada ekosistem insentif fiskal yang lebih terstruktur untuk sektor hospitality secara keseluruhan agar lebih tahan terhadap guncangan ekonomi dan bisa berkembang berkelanjutan,” ujar Ferry.Okupansi turunSekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, kinerja perhotelan nasional sedang tidak bergairah. Tingkat okupansi hotel menyusut 3,5 persen pada semester I-2025. Sementara pada triwulan III-2025, angkanya belum meningkat signifikan.Ia menilai, insentif PPh 21 DTP kurang terasa karena upah para pekerja sudah menyusut. Kini banyak tenaga kerja harian yang tidak terserap sektor perhotelan.Selain upah, para pekerja biasanya mendapat tambahan pendapatan dari uang jasa layanan (service) atau yang nominalnya kadang lebih besar ketimbang upah. Ini biasa terjadi pada musim puncak. Namun, saat tingkat okupansi menurun sebagaimana terjadi selama setidaknya setahun terakhir, pendapatan para pekerja pun turun.Saat ini tenaga kerja tetap juga tidak lagi bekerja secara penuh dalam sebulan. Mereka hanya bekerja dua minggu dalam sebulan, bergantian antarkelompok.”Karena kondisi ini berdampak, mungkin tidak terlalu efektif. Itu menurut hemat kami. Tidak banyak yang akan terima itu. Sebenarnya yang lebih dibutuhkan dari horeka ini adalah pasar. Dampak ini (tidak bergeliat) karena pasar yang hilang,” ujar Maulana.Berkaca saat pandemi Covid-19 pada 2020, pemerintah mendorong sektor pariwisata, khususnya horeka, dengan menciptakan pasar. Caranya, aktivitas kegiatan pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE), baik nasional maupun internasional, diadakan. Alhasil, para wisatawan mancanegara dan nusantara bergerak.”(Insentif) tidak banyak berdampak karena aktivitas revenue saja sudah menurun, serapan tenaga kerja menurun. Mereka bekerja paling banyak satu bulan,” kata Maulana.Saat ini, PHRI menaungi 2.556 hotel yang menyerap sekitar 40.000 tenaga kerja. PHRI juga menaungi sekitar 675 restoran dengan sekitar 5.000 tenaga kerja.Ketika ditanya proyeksi geliat perhotelan dan restoran setelah menerima insentif PPh 21 DTP, Maulana belum dapat memperkirakannya. Terpenting adalah peningkatan pasar. Apalagi kini sudah akan memasuki triwulan IV. Ini peluang terbesar perhotelan mendapatkan pendapatan, dimulai sejak triwulan III. Biasanya, aktivitas pemerintah mulai terlihat pada triwulan III hingga akhir tahun. Namun, dengan pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga negara, pola ini tidak akan terjadi pada triwulan IV-2025.Maulana mengemukakan, perhotelan tidak hanya dilihat dari aspek relaksasi dan rekreasi. Aspek ini menyumbang sekitar 30 persen rata-rata pendapatan. Sementara kotribusi terbesar, 40-60 persen, datang dari perjalanan bisnis, baik korporasi maupun pemerintah pusat-daerah.Tidak berjangka panjangPeneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan, insentif PPh 21 DTP dapat membantu sektor pariwisata, khususnya hotel dan restoran, bangkit pada kondisi sebelum pandemi. Walau tidak begitu besar, anggaran tersebut diharapkan mampu memberi efek pengganda (multiplier effect) ke sektor pariwisata.Ketika ditanya apakah insentif ini mampu menjawab persoalan daya beli, Tauhid menilai, dampaknya belum sekuat itu karena penerima manfaat adalah pekerja. Namun, efeknya, terutama bagi kelas menengah dan kelas bawah, belum cukup.”Jadi, harus ada aspek lain yang membantu mereka. Kalau ke daya beli itu larinya harusnya ke Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena trennya sampai pertengahan tahun, PPN dan PPh anjlok. Bahkan, pertumbuhannya dibandingkan tahun lalu minus 10 persen, berarti, kan, ada problem di masyarakat,” ujar Tauhid.Batas PPN saat ini 11 persen, kecuali barang mewah 12 persen. Perlu kajian apakah memungkinkan tarifnya lebih rendah dari 10 persen untuk PPN guna merangsang daya beli masyarakat.Pemerintah juga semestinya perlu mendorong pertumbuhan fasilitas kredit yang saat ini juga sedang tidak bergairah. Insentif bagi pelaku usaha UMKM dapat meningkatkan daya beli, terutama pelaku usaha.Sektor menengah besar juga belum terfasilitasi, terutama bagi pelaku usaha yang ingin menambah investasi. Jika diakomodasi, usaha mereka dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.Tauhid mengingatkan agar stimulus yang digelontorkan bisa berjalan efektif. Apalagi kebijakan diberikan jelang akhir tahun yang berkaitan dengan penyerapan anggaran. Sementara banyak program yang bersifat teknokratis sehingga tidak mudah pula untuk memprosesnya.”Data, informasi, sistem, dan mekanisme sudah harus disiapkan. Jangan sampai uangnya sudah siap, teknisnya tidak siap, sehingga penyerapannya rendah. Penyerapan anggaran perlu dipercepat karena sudah memasuki kuartal terakhir,” katanya.