JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah memperluas insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah disambut positif pelaku usaha. Namun, insentif fiskal ini hanya memberikan napas tambahan di tengah tekanan struktural yang membelit sektor padat karya ataupun sektor hotel, restoran, dan katering. Reformasi birokrasi, pemberantasan premanisme, hingga penurunan biaya logistik dianggap lebih menentukan daya saing jangka panjang.Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Pusat Hariyadi B Sukamdani mengatakan, perluasan insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP), khususnya untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, memberikan angin segar bagi pekerja sektor hotel, restoran, dan katering (horeka).”Insentif pajak oleh pemerintah akan membantu meningkatkan daya beli karyawan. Take home pay mereka menjadi lebih banyak karena pajak ditanggung pemerintah,” ujar Hariyadi saat dihubungi, Minggu (14/9/2025).Kendati memberikan manfaat di sisi pekerja, sektor horeka tetap menghadapi tantangan berat. Sepanjang semester I-2025, permintaan dari belanja pemerintah yang selama ini menopang hingga 40 persen pasar hotel nasional nyaris hilang akibat kebijakan efisiensi anggaran.”Pasar pemerintah untuk hotel boleh dibilang tidak ada. Semester II memang agak membaik, tetapi belum kembali ke kondisi 2024 dan tahun sebelumnya apalagi,” ujarnya.Kondisi horeka yang lesu, khususnya hotel, berisiko menekan keberlangsungan usaha dan tenaga kerja. Sebagian besar pekerja di industri hotel berstatus harian atau kontrak sehingga sangat rentan terdampak ketika tingkat hunian anjlok. Saat tamu sepi, otomatis para karyawan mereka tidak bekerja karena pendapatan hotel yang turun drastis.PHRI menilai insentif pajak memang dibutuhkan dan membantu, tetapi itu belum cukup tanpa kebijakan nyata untuk mendorong pertumbuhan sektor riil. Karena itu, Hariyadi berharap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang berani menyalurkan dana perbankan ke pembiayaan sektoral bisa berdampak pada sektor horeka.Menurut Hariyadi, Indonesia memiliki potensi wisata yang begitu besar. Tetapi, kebijakan pemerintah masih belum terfokus pada penguatan sektor riil. Padahal, pengembangan potensi wisata lewat penguatan infrastruktur di sektor riil bisa memberikan andil besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan para pekerja sekaligus mendorong daya beli masyarakat.Penguatan infrastruktur ini juga terkait dengan kebijakan penciptaan lapangan pekerjaan. Sektor horeka menyumbang penciptaan lapangan pekerjaan yang luas.Menyejahterakan rakyat itu bukan hanya bansos atau insentif, melainkan juga membuka lapangan kerja dan memperkuat industri pariwisatanya sehingga berdampak pada sektor horeka.Kebijakan penguatan lainnya ialah investasi untuk menarik wisata asing. Sektor pariwisata membutuhkan pasokan dana untuk promosi agar mampu bersaing dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, yang berhasil menarik lebih banyak wisatawan mancanegara.Begitu pula dengan turis domestik yang turut memberikan andil besar di sektor horeka. Sayangnya, saat ini menggerakan minat turis domestik pun tidak mudah karena dana beli mereka sedang lemah. Masyarakat lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok ketimbang berwisata.”Negara besar seperti Indonesia punya peluang besar. Tetapi, kebijakan jangan hanya berkutat di program populis, fiskal bisa terbebani. Menyejahterakan rakyat itu bukan hanya bansos atau insentif, melainkan juga membuka lapangan kerja dan memperkuat industri pariwisatanya sehingga berdampak pada sektor horeka,” tutur Hariyadi.Saling terkaitKetua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menilai, perluasan insentif PPh 21 ditanggung pemerintah memberikan dampak positif bagi industri padat karya lain seperti mebel dan kerajinan.Kebijakan ini penting sebagai napas tambahan di tengah tekanan permintaan global dan domestik. ”Kami mendukung perluasan PPh 21 DTP ke horeka. Manfaatnya bukan hanya di sisi jaring pengaman pekerja, melainkan juga menetes ke pemulihan permintaan furnitur, terutama proyek hotel dan restoran,” ujarnya.Berdasarkan kebijakan PPh 21 DTP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, insentif berlaku bagi pekerja berupah maksimal Rp 10 juta per bulan atau pekerja tidak tetap dengan rata-rata upah harian hingga Rp 500.000. Pajak penghasilan yang seharusnya dipotong kini ditanggung pemerintah.”Dampaknya langsung terasa di slip gaji. Karyawan menerima take-home pay lebih tinggi. Bagi perusahaan, arus kas payroll lebih longgar karena tidak perlu menyetor PPh 21 yang biasanya di-gross up. Ruang kas ini bisa dipakai menahan PHK, menjaga jam kerja, bahkan meningkatkan moral karyawan,” tutur Sobur.Bagi industri furnitur, penguatan daya beli pekerja horeka berarti potensi peningkatan permintaan tidak langsung. Ketika sektor hotel dan restoran pulih, belanja modal untuk interior, kursi, meja, dan perlengkapan lain akan ikut meningkat. "Capex interior dan penggantian furnitur bisa memicu order ke pabrik. Namun, ini hanya boost jangka pendek,” kata Sobur.Meski manfaat terasa, HIMKI menilai, masih ada hambatan di lapangan. Tingkat adopsi di kalangan usaha kecil menengah relatif rendah akibat kendala administrasi, validasi data pekerja, hingga pelaporan SPT Masa PPh 21.”Masih ada UKM yang ragu memanfaatkan karena takut salah administrasi dan berujung pemeriksaan. Perlu ada sosialisasi agresif, template payroll sederhana, serta helpdesk dari DJP, disperin, dan disnaker,” kata Sobur.Selain itu, aturan teknis soal struktur upah variabel, seperti lembur atau borongan, juga perlu diperjelas agar tidak menimbulkan keraguan di perusahaan furnitur yang banyak menggunakan skema tersebut.Sobur menekankan, kebijakan PPh 21 DTP efektif sebagai penopang jangka pendek. Namun, untuk daya saing jangka panjang, Indonesia perlu membenahi biaya produksi dan logistik yang masih tinggi.”Insentif ini menjaga konsumsi dan okupansi horeka pada akhir tahun, tetapi tidak menurunkan harga pokok produksi struktural. Biaya energi, logistik, bahan baku, dan pembiayaan ekspor masih lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam atau Malaysia,” ujarnya.Ia menambahkan, tanpa reformasi biaya, posisi daya saing industri furnitur Indonesia bisa semakin tertinggal.Perbaikan strukturalEkonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menilai, perluasan insentif PPh 21 DTP memang berdampak positif. Namun, dampaknya diperkirakan tidak signifikan, apalagi jika hanya berlangsung sesaat.”Insentif ini bentuknya sementara, sedangkan banyak hal yang lebih struktural perlu diselesaikan. Misalnya, praktik premanisme, perburuan rente, hingga dukungan perizinan yang rumit karena kompleksitas birokrasi,” kata Riefky.Menurut dia, kebijakan fiskal semacam ini ibarat memberi napas tambahan bagi pelaku usaha dalam jangka pendek. Namun, keberlanjutan dan penguatan daya saing hanya bisa tercapai apabila ada pembenahan mendasar.”Setelah diberi napas tambahan tentu perlu ada kebijakan struktural. Itu yang membuat mereka lebih berdaya saing lagi,” ujarnya.Ia menekankan, solusi yang dibutuhkan bukanlah penambahan aturan baru, melainkan memastikan penegakan hukum dan implementasi kebijakan di lapangan berjalan konsisten. ”Indonesia ini sudah punya banyak aturan. Namun, bagaimana penerapannya di lapangan justru yang menentukan produktivitas dan daya saing usaha,” ucapnya.Secara terpisah, ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan, perluasan insentif dari industri padat karya ke sektor horeka akan memberikan dorongan bagi dunia usaha, termasuk pekerja di kedua sektor tersebut. Namun, ia menekankan perlunya kebijakan tambahan yang mampu memantik aktivitas ekonomi dari kondisi tidak ada menjadi ada.Menurut dia, perluasan insentif pajak DTP tidak bisa dipandang untuk memperkuat daya saing jangka panjang. ”Akan berdampak, tetapi sangat terbatas. Sifatnya hanya menstimulus transaksi, bukan menciptakan transaksi ekonomi baru,” ujarnya.Ia menambahkan, kebijakan fiskal semacam ini perlu dibarengi dengan penguatan tata kelola ekonomi. Sejumlah langkah struktural yang masih lemah perlu diperkuat agar sektor padat karya dan horeka lebih berdaya saing.”Pertama, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Kedua, memberantas premanisme yang justru makin marak di masa sulit. Ketiga, memberantas penyelundupan dan peredaran barang ilegal. Terakhir, memastikan megaproyek pembangunan besar (MBG) melibatkan UMKM lokal,” kata Wijayanto.