Musik, suara, atau lagu sering jadi pengiring di banyak tempat. Ia kerap jadi bintang utama, juga pelengkap yang membuat suasana terasa lebih hangat dan nyaman. Kini, suara-suara itu makin jarang terdengar. Penyebabnya jelas: royalti. Para pelaku usaha pun menanti sistem royalti yang lebih baik dan jelas. Ketakutan para pelaku usaha muncul setelah kasus pidana menimpa salah satu restoran di Bali. Meski kasus itu sudah selesai, bayang-bayang risiko hukum tetap menghantui. Hasilnya, banyak hotel dan restoran memilih “beroperasi dalam sunyi” dengan berhenti memutar musik dan home band jarang diundang. Stasiun Solo Balapan pun menghentikan sementara pemutaran lagu Bengawan Solo yang sudah menjadi ciri khasnya. Baca juga laporan terkait: Hypereport: Mengurai PR Besar Pusat Data Lagu & Asa Perbaikan LMKN Lewat Revisi UUHC Hypereport: Jeritan Pencipta Lagu, Nihilnya Royalti Konser hingga Transparansi & Digitalisasi Maulana Yusran, Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), menjelaskan, selama ini pembayaran royalti sering kali tidak lancar. Hal ini dapat terjadi karena ada perdebatan tentang royalti musik dan lagu yang diputar di hotel dan restoran. Musik atau lagu yang diputar di hotel dan restoran hanyalah latar, bukan sumber pendapatan utama. Beda dengan karaoke, diskotek, atau konser, yang memang menjadikan musik sebagai inti bisnisnya. Keuntungan utama hotel dan restoran datang dari penjualan kamar, makanan, dan minuman. Musik hanya pelengkap, kadang bisa diganti suara alam seperti gemericik air atau kicau burung. Maulana menambahkan, setiap orang punya selera seni masing-masing. Tidak semua pengunjung menikmati musik yang diputar, bahkan beberapa tamu bisa terganggu jika suara terlalu keras. Jadi, manajemen sering memutar musik di level suara pas-pasan. Terdengar tapi tidak mengganggu percakapan. Meskipun begitu, bukan berarti pelaku usaha tidak menghargai pencipta lagu. Pemutaran lagu atau musik di hotel dan restoran justru bisa menjadi sarana promosi bagi penciptanya, sehingga perlu dipandang sebagai asas saling menguntungkan antara pencipta dan pelaku usaha. “Kalau lagunya tidak populer, siapa yang mau bayar royalti? Diputar juga tidak,” ujarnya. Pemaksaan pembayaran royalti kepada hotel dan restoran akan berdampak terhadap pelaku usaha. Terlebih pelaku usaha harus membayar langsung dalam satu tahun. Tidak hanya itu, pelaku usaha juga harus membayar mundur. Selain beroperasi dalam sunyi dengan tidak memutar musik atau lagu sebagai backsound, banyak hotel dan restoran juga akhirnya tidak mendatangkan home band untuk tampil langsung karena khawatir harus membayar royalti. Selama ini, hotel dan restoran cukup membayar sewa musisi yang tampil dan tidak membayar royalti. Ketiadaan home band yang biasanya diisi oleh musisi-musisi daerah juga membuat para seniman di daerah tidak dapat tampil Langkah berhenti memutar musik juga dilakukan PT Kereta Api Indonesia Daop 6 Yogyakarta. Menurut Manajer Humas KAI Daop 6, Feni Novida Saragih, penghentian pemutaran lagu Bengawan Solo bersifat sementara, untuk memastikan seluruh operasional di lingkungan perusahaan sesuai aturan, termasuk tentang hak cipta. “Penghentian pemutaran lagu tersebut merupakan langkah sementara sambil memastikan proses administrasi terkait izin dan kewajiban royalti kepada pencipta maupun pemegang hak cipta dapat dipenuhi sesuai dengan regulasi yang berlaku,” katanya kepada Hypeabis.id. Manajemen pun tengah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait guna menyelesaikan proses administrasi penggunaan lagu-lagu khas yang selama ini telah menyambut dan menemani penumpang kereta api di stasiun-stasiun Daop 6 Yogyakarta. Setelah seluruh kewajiban terpenuhi, KAI Daop 6 Yogyakarta membuka kemungkinan untuk kembali memutarkan lagu-lagu tersebut. Dia menuturkan, manajemen berkomitmen mencari solusi terbaik agar penghormatan terhadap karya cipta tetap terjaga sekaligus memberikan pengalaman yang berkesan bagi pelanggan. “Langkah ini bukan penghapusan, tapi penyesuaian agar tetap patuh regulasi dan memberikan pengalaman berkesan bagi penumpang,” tambah Feni. Baca juga: Hypereport: Pendapatan Royalti Musik Indonesia, Anjlok saat Pandemi hingga Capai Rekor TertinggiPDLM dan SILM Untuk menyelesaikan masalah royalti, Maulana berharap pemerintah memiliki Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM). Pencipta bisa mendaftarkan karya mereka, sehingga masuk ke database resmi. Selanjutnya, dibutuhkan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), platform digital yang terhubung dengan pusat data. Dengan begitu, pencipta bisa memilih apakah ingin menarik royalti atau tidak, dan pelaku usaha dapat mengetahui apakah karya itu public domain atau tidak. Karya yang termasuk dalam public domain berarti pengguna tidak perlu membayar royalti. Akan tetapi, musik atau lagu yang bukan termasuk dalam domain publik dapat ditarik royalti. PDLM dan SILM sebenarnya merupakan mandat dari Peraturan Pemerintah No. 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, tapi hingga kini belum terealisasi, meski beleid ini sudah ada sejak 2021. Saat ini, pelaku usaha restoran dan hotel melihat ada kerancuan antara UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta dengan PP 56/2021. Dalam pasal 88 ayat 2B dan 2C UU Hak Cipta, Lembaga Manajemen Kolektif harus mendapat kuasa 200 paling sedikit 200 orang pencipta dan paling sedikit 50 orang pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait untuk menarik, menghimpun, atau mendistribusikan royalti. Sementara itu, pasal 12 PP No. 56/2021 menyebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) melakukan penarikan Royalti dari orang yang melakukan penggunaan secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK. Selain itu, LMKN juga menarik royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang belum menjadi anggota dari suatu LMK. Hal ini menjadi tanda tanya, terlebih terdapat aturan yang menyebut bahwa royalti dapat menjadi dana cadangan jika setelah 2 tahun disimpan dan diumumkan tidak diketahui pemegang hak cipta dan hak terkaitnya. Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu mengungkapkan masyarakat tidak perlu khawatir untuk memutar kembali lagu atau musik. Namun, pernyataan bukan hukum lantaran tidak ada hitam di atas putih. Sementara itu, kebijakan aturan royalti yang saat ini dilindungi oleh undang-undang yang masih dipedomani. Jadi, harus ada aturan yang jelas terkait dengan itu. Baca juga: Hypereport: Regulasi Royalti Musik di Area Komersial, dari Kafe ke Streaming Digital (Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)