TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Kebijakan royalti pemutaran musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) masih banyak diperdebatkan oleh masyarakat. Meski begitu, Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kaltim, Febri Yudiono mengimbau agar masyarakat menunggu kepastian revisi transparansi dan distrubusi terkait kebijakan tersebut. Sebab menurutnya, kebijakan tersebut masih multitafsir dan masih perlu banyak revisi. Terlebih, terkait transparansi perhitungan yang harus dibayar oleh hotel, restoran maupun kafe. Baca juga: Makna HUT RI Bagi Wawali Balikpapan Bagus Susetyo, Terus Bersatu dan Berdaulat Termasuk juga, pendistribusian atau pembagian royalti bagi para musisi. "Menurut kami pengaplikasian dan regulasinya masih tumpang tindih dan belum jelas," ungkapnya, Minggu (17/8/2025). Ia juga mengatakan, tak sedikit pelaku usaha yang was-was menghadapi kewajiban royalti tersebut di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil. "Kalau kafe atau restoran kapasitasnya besar tapi tamunya cuma 10 persen dari kursi yang tersedia, tetap kena hitung royalti penuh. Ini bisa bikin bisnis jatuh dan efeknya panjang, sampai PHK karyawan," ujarnya. Untuk itu, PHRI Kaltim menyarankan pelaku usaha hotel, restoran, dan kafe untuk bersabar menunggu selesainya proses revisi aturan sebelum mengambil keputusan. Febri juga mendorong LMKN melihat persoalan ini dari sudut pandang pelaku usaha agar kebijakan yang dihasilkan bisa menguntungkan semua pihak. "Kami dukung seniman dan musisi dapat penghargaan layak. Tapi tolong jalankan dengan transparan, terukur, dan jelas. Kalau semua clear, kami siap dukung penuh," pungkasnya. (*)