Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Ketua PHRI Samarinda Ungkap Keresahan Soal Royalti Musik: Jangan Bikin Bingung

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Samarinda, Leny Marlina, mengungkapkan keresahannya terkait aturan royalti musik yang ramai dibicarakan. Ia menilai, penerapan kebijakan ini masih membingungkan pelaku usaha karena aturan mainnya belum jelas. Leny menegaskan, pemutaran musik di ruang publik seperti hotel, restoran, dan kafe kerap dilakukan bukan semata-mata atas permintaan pelanggan, melainkan inisiatif pemilik usaha untuk menciptakan suasana nyaman. Namun, jika aturan royalti diterapkan tanpa sosialisasi yang memadai, dikhawatirkan menimbulkan kesan pemerintah memberatkan pelaku usaha yang sudah terbebani pajak dan kewajiban lain. Baca juga: Royalti Musik Menuai Polemik, PHRI Kaltim Minta Daftar Lagu Wajib Bayar Diperjelas “Pengunjung kan supaya nyaman di tempat makan, berinisiatif menyetel musik. Bukan permintaan pelanggan. Orang awam pun menilai, apa–apa semua bayar, semua dipajaki,” ujarnya kepada Tribunkaltim.co, Rabu (13/8/2025). Leny menjelaskan, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memang bukan bagian dari pemerintah karena merupakan lembaga bantu non-APBN, namun kewenangannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Meski di Samarinda belum ada keluhan resmi terkait penerapan aturan ini, Leny menilai sosialisasi dari pihak terkait masih minim. Ia mengaku mendukung penghargaan terhadap hak cipta musisi, namun menegaskan perlunya kejelasan agar pelaku usaha bisa mempertimbangkan penggunaan musik di tempat mereka. Baca juga: Warkop di Balikpapan Nilai Aturan Royalti Musik Kurang Bagus, Pilih Berhenti Putar Lagu “Ya sebetulnya aturan mainnya diperjelas, agar tidak membingungkan. Setelahnya, pelaku usaha mempertimbangkan mau tetap memakai musik atau tidak. Kita tidak tahu pernah disosialisasikan apa tidak, jangan tiba–tiba dibuat ramai seperti ini, dan tiba–tiba dituntut royalti,” tegas Leny. Leny juga menyoroti potensi aturan ini menyasar kegiatan di ruang publik seperti senam, zumba, atau acara car free day yang memutar musik milik musisi. Menurutnya, hal ini juga perlu diperjelas dalam mekanisme LMKN. “Kita bicara secara umum dan saya sebagai orang awam mempertanyakan hal ini. Memang belum ada keluhan dari hotel dan restoran di Samarinda, tapi sebaiknya jika memang diberlakukan, perlu aturan jelas, hitungan LMKN juga belum diketahui. Kalau duduk bersama ya kami siap saja membahas ini,” pungkasnya. (*)