JAKARTA, KAIDAH.ID – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyampaikan keberatan atas kewajiban pembayaran royalti musik dan lagu, di fasilitas usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta peraturan turunannya. Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menilai, sejumlah pasal dalam regulasi tersebut perlu direvisi, karena dinilai memberatkan pelaku usaha. Ia menyoroti praktik penagihan royalti yang kerap dilakukan secara mundur sejak pemberlakuan UU Hak Cipta. “Seharusnya hanya tagihan berjalan yang ditagihkan. Pendekatan penarikan royalti pun sering represif, bahkan melibatkan aparat penegak hukum,” kata Hariyadi, Senin, 11 Agustus 2025. Menurutnya, struktur tarif yang didasarkan pada jumlah kamar, kursi, atau luas usaha, tidak mencerminkan pendapatan riil, sehingga membuat penggunaan lagu menjadi mahal meski hanya sebagai musik latar. PHRI meminta pemerintah dilibatkan dalam penyusunan tarif, serta memberi ruang bagi pencipta untuk membebaskan karyanya dari royalti. Hariyadi juga mengkritik biaya operasional LMKN yang diambil dari dana royalti, serta ketentuan dalam PP Nomor 56 Tahun 2021 yang memperbolehkan LMKN menghimpun royalti dari pencipta yang belum menjadi anggota LMK. PHRI menilai hal ini tidak adil dan memerlukan transparansi serta audit publik. Ia menegaskan, lagu yang diputar di hotel atau restoran seharusnya tidak dikenakan royalty, karena bukan bagian dari pertunjukan musik. PHRI juga menyoroti belum rampungnya Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) sesuai amanat PP 56/2021. WEWENANG LMKN Sementara itu, berdasarkan Peraturan Menkum RI Nomor 27 Tahun 2025, tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti, LMKN dibentuk oleh Menteri untuk mengelola royalti mewakili kepentingan pencipta dan pemilik hak terkait. LMKN memiliki kewenangan menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pihak yang melakukan penggunaan secara komersial, baik secara analog maupun digital. Jenis layanan publik yang bersifat komersial yang dikenai royalti meliputi hotel, vila, restoran, kafe, pusat belanja, sarana olahraga, salon, spa, sarana transportasi, tempat hiburan, perkantoran, bioskop, karaoke, konser, hingga layanan streaming dan siaran digital. Pembayaran royalti dilakukan melalui LMKN, yang kemudian mendistribusikannya kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait, baik yang menjadi anggota LMK maupun yang belum. Dana royalti juga digunakan untuk dana operasional dan dana cadangan LMKN. LMKN bertanggung jawab kepada Menteri dan wajib menyampaikan laporan kinerja serta laporan keuangan. Penetapan besaran tarif royalti dilakukan oleh LMKN dan disahkan oleh Menteri. (*) Editor: Ruslan Sangadji