Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

PHRI Boyolali Sayangkan Penarikan Royalti Lagu oleh LMKN saat Ekonomi Lesu

ESPOS.ID - Ilustrasi royalti lagu. (Freepik) Esposin, BOYOLALI--Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Boyolali menyayangkan penarikan royalti lagu oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) di tengah lesunya ekonomi. Ketua PHRI Boyolali, Prasetyo Adi Setiawan, mengatakan PHRI Jawa Tengah lewat kepengurusan PHRI pusat telah melaksanakan audiensi terkait dengan royalti. Sementara baru ada pagu harga tersendiri untuk hotel, akan tetapi untuk restoran masih diusahakan. Di Balik Trofi MotoGP & WSBK Mandalika, Sarat Budaya Lokal “Penarikan kebijakan seperti itu sebenarnya hal wajar, cuma kami menyayangkan timingnya [waktunya] di saat kondisi masih seperti ini. Berat sih terus terang,” kata dia saat dihubungi Espos, Senin (11/8/2025). Ia mengatakan PHRI Boyolali menyerap aspirasi pelaku hotel dan restoran di Kota Susu. Seperti pelaku wisata yang loyo di tengah kondisi ekonomi yang dinilai belum membaik. Adi menjelaskan hal tersebut bukan hanya dirasakan PHRI Boyolali, tapi di kota lain. “Ya bagaimana ya, kembali lagi ke situasi saat itu, khususnya untuk ekonomi hotel dan restoran di Boyolali belum sesuai harapan. Masih proses di tengah efisiensi pemerintah yang berdampak ke hotel dan restoran. Sebenarnya enggak apa-apa, tapi timingnya kurang pas saja [pelaksanaan penarikan royalti],” kata dia. Adi mengatakan di situasi kondisi perekonomian yang lesu bagi dunia hotel dan restoran sehingga perlu digairahkan. Diharapkan tidak terlalu banyak peraturan yang memberatkan selama pelaku hotel dan restoran tak melanggar apa pun. Terlebih, kondisi di lapangan di dunia hotel Boyolali, ungkap Adi, seperti city occupancy tergolong rendah yaitu di bawah 50%. “[Pemutaran lagu di hotel dan restoran] kami batasi. Kalau hotel yang berbintang biasanya sudah sesuai aturan, sebelumnya sudah membayar tiap bulan, rata-rata sekitar Rp2 juta per bulan. Namun, untuk hotel-hotel kecil juga harus melihat kondisinya, ini kan hal yang sensitif,” kata dia. Terlebih, ketika penarikan royalti di tengah kondisi ekonomi yang belum membaik. Tapi malah pelaku hotel dan restoran harus ditambah pembayaran royalti. Ia berharap ada langkah bertahap yang baik untuk mengatasi hal tersebut. Ia menilai rata-rata hotel di Boyolali termasuk kecil dan di bawah 40 kamar, pihaknya sempat mendapatkan informasi untuk hotel tersebut tak dikenakan biaya. Namun, hal tersebut belum mendapatkan kepastian. Sehingga, pihaknya masih perlu mencari informasi yang valid. “Kami juga masih tetap memutar lagu tapi memang dibatasi, tidak terlalu seperti yang kemarin memutar terus. Takutnya seperti kejadian di Gacoan itu kan tiba-tiba langsung sekian miliar, biaya yang tidak kecil itu,” kata dia. “Kami kan juga memberi masukan ke pemerintah daerah untuk mendatangkan orang yang belum tahu Boyolali bisa datang ke sini. Kuncinya memang di situ,” kata dia. Upaya Memperbaiki Dunia Hotel dan Restoran Boyolali Ketika orang yang berwisata ke Boyolali bertambah, lanjutnya, maka akan berdampak pada bisnis yang ada di Boyolali utamanya hotel dan restoran. Adi mengatakan PHRI Boyolali juga terus berkomunikasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi wisata agar nantinya dapat memperbaiki dunia hotel dan restoran di Kota Susu. “Memang harus ada event, minimal skala provinsi agar mendatangkan orang ke Boyolali. Agar mereka menginap sampai jajan, sehingga spending di Boyolali,” jelas dia. Dilansir Bisnis.com, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Agung Damarsasongko, menekankan setiap pelaku usaha seperti restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel wajib membayar royalti kepada pemilik dan hak terkait. Meskipun, katanya, pelaku usaha telah berlangganan di aplikasi musik seperti YouTube atau Spotify. “Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (4/8/2025). Agung meminta kepada pelaku usaha agar tidak memblokir pemutaran lagu band atau musisi di Indonesia untuk terhindar dari pembayaran royalti. Menurutnya tindakan ini secara tidak langsung meredupkan ekonomi musik lokal. Dia mengimbau kepada pelaku usaha menggunakan musik bebas lisensi atau lisensi Creative Commons jika diperuntukan kegiatan komersial. Lalu, bagi pelaku usaha UMKM dapat mengajukan keringanan atau pembebasan pembayaran royalti sesuai ketentuan LMKN.  Baca Juga Begini Cara LMKN Menyalurkan Royalti Lagu ke Pemilik Hak Cipta Komisioner LMKN Sebut Penyanyi Kafe Tidak Dibebani Kewajiban Bayar Royalti Okupansi Hotel di Boyolali Lesu selama Libur Nataru, Ini Kata PHRI Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.