Jakarta, Beritasatu.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta menilai regulasi pembayaran royalti musik dan lagu bagi hotel dan restoran tidak tepat sasaran. Ketua PHRI Jakarta Sutrisno Iwantoro mengatakan, meski termasuk ruang komersial, hotel dan restoran tidak memanfaatkan musik untuk dikomersilkan seperti usaha karaoke. "Pemutaran lagu kok tiba-tiba jadi pidana, ya kagetlah. Hotel itu tidak mengomersilkan lagu musik, yang dijual hotel adalah kamar untuk menginap. Kalau restoran, yang dijual adalah makanan, lagu tidak dijual. Kecuali karaoke ya," kata Sutrisno saat dihubungi, Minggu (10/8/2025). Imbas penegakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Sutrisno mengungkapkan banyak pengelola hotel dan restoran di Jakarta memilih berhenti memutar musik untuk sementara. "Banyak yang enggak memutar musik dahulu, takut," ujarnya. Meski demikian, ia menegaskan pihaknya tidak keberatan membayar royalti, asalkan ada transparansi dan jaminan bahwa pembayaran tersebut sampai kepada pencipta lagu. "Kami sangat menghargai karya seni dan budaya. Kami tidak keberatan bayar, tetapi perlu transparansi. Apa yang kami bayar harus sampai kepada yang berhak," tegasnya. Isu ini mencuat setelah muncul kekhawatiran pelaku usaha terkait kewajiban membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) saat memutar lagu di tempat usaha mereka. LMKN menyatakan royalti akan disalurkan kepada pencipta lagu dan musisi, dengan sekitar 20% dari total royalti dialokasikan untuk biaya operasional lembaga. Adapun tarif royalti bagi kafe dan tempat usaha dihitung per kursi, berkisar Rp 60.000 hingga Rp 150.000. Royalti MusikRoyalti LagiTempat KomersialHotel dan RestoranPHRI Jakarta