"Belum jelas siapa yang memungut, ke mana uangnya, dan bagaimana dibagikan ke musisi." "Penegakan hukumnya juga terasa tidak adil." "Hanya sebagian kecil kafe yang diawasi, jadi kesannya tebang pilih," kataya. Pemerintah menegaskan, aturan ini adalah bentuk perlindungan terhadap kekayaan intelektual dan upaya memberi penghargaan yang layak kepada pencipta lagu. Namun, di lapangan, banyak pelaku usaha kecil merasa belum siap. Di tengah biaya sewa, listrik, bahan baku, dan gaji karyawan yang terus naik, penambahan beban royalti musik dinilai membuat usaha semakin berat dijalankan. Bagi pemilik kafe seperti Marucil dan Benny, musik seharusnya menjadi sarana menciptakan suasana, bukan sumber kekhawatiran. Pertemuan Khusus Anggota PHRI Sementara itu, Kepala Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) Banyumas, Iriyanto, mengaku terkejut adanya kebijakan tersebut. "Ini memperdengarkan suara burung aja kena. Suara-suara alam, masa kena royalti?" "Kami masih memantau karena aturan itu saya pikir memberatkan dunia usaha," katanya. Baca juga: Uniknya Kafe di Kota Tegal Ini, Hadirkan Pantai Berpasir Putih di Tengah Kota Ia mengatakan, Sabtu (9/6/2025) mendatang, akan ada pertemuan khusus dengan sejumlah GM hotel, restaurant, dan tempat hiburan malam membicarakan aturan ini. Dalam waktu dekat, akan ada zoommeeting bersama PHRI Jateng untuk koordinasi terkait aturan ini. "Kalau lagu Indonesia, kayak milik Roma Irama, boleh lah, jelas. Tapi, misalkan (pemutaran) lagu-lagu barat, (bayar royalti) ke siapa ?" "Kita masih memantau dan akan mengumpulkan info dulu," imbuhnya. Pihaknya mengatakan, PHRI Banyumas memiliki anggota aktif 240 hotel dan 380 restauran. Jumlah tersebut belum termasuk kafe-kafe di Purwokerto dan Banyumas. (*)