Kabar Kantor WilayahIndeks Berita Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI Berita Utama 07 August 2025 Hits: 15 Jakarta, 6 Agustus 2025 — Isu royalti musik kembali menjadi sorotan dalam siaran langsung Indonesia Business Forum bertajuk “Cafe Putar Musik, Awas Ditagih Royalti!” yang ditayangkan TVOne pada Rabu malam (06/08/2025), pukul 20.00 WIB. Diskusi publik ini membedah urgensi pelaku usaha terhadap kewajiban membayar royalti atas pemanfaatan musik di ruang komersial seperti kafe, restoran, dan hotel. Hadir sebagai narasumber utama yaitu Agung Dharmasasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum RI; Dharma Oratmangoen, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN); Doa di Badai Holo, Sekretaris Jenderal Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI); Maulana Yusran, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI); serta usaha pelaku sekaligus pemilik kafe dan restoran, Dino Sans. Forum ini juga diikuti oleh jajaran Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kalimantan Barat, antara lain: Kepala Kantor Wilayah, Jonny Pesta Simamora, Kepala Divisi Pelayanan Hukum, Farida Wahid, Kepala Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual, Analis Kekayaan Intelektual Ahli Muda, CASN Analis Kekayaan Intelektual, dan Tim Helpdesk Layanan KI. Dalam paparannya, Agung Dharmasasongko menyampaikan bahwa musik bukan sekedar hiburan, melainkan bentuk karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan hukum. Oleh karena itu, pemanfaatan musik dalam bisnis wajib diikuti dengan lisensi dan pembayaran royalti melalui LMKN. Ia juga menjelaskan bahwa platform berlangganan digital seperti Spotify atau YouTube Premium hanya berlaku untuk konsumsi pribadi, bukan untuk penggunaan komersial di ruang publik. Senada dengan itu, Dharma Oratmangoen menyatakan bahwa royalti yang ditarik berdasarkan Keputusan Menkumham Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yaitu sebesar Rp120.000 per kursi per tahun, sudah melalui perhitungan adil dan proporsional. Ia menyebarkan sejumlah kesalahpahaman masyarakat, termasuk mitos bahwa suara alam pun dikenai royalti, padahal hanya rekaman dengan hak cipta yang memiliki perlindungan hukum. Sementara itu, Dino Sans mengajak para pelaku usaha untuk tidak menganggap royalti sebagai beban, melainkan bentuk penghargaan terhadap karya seniman. Ia menyarankan agar pemerintah dan LMKN meningkatkan edukasi agar UMKM tidak merasa 'ditodong' tiba-tiba oleh tagihan yang sebenarnya telah diatur dengan jelas. Namun pandangan berbeda disampaikan oleh Maulana Yusran dari PHRI yang menyuarakan keresahan usaha pelaku terhadap tarif yang dinilai membebani, terutama di tengah penurunan daya beli masyarakat. Ia meminta adanya pendekatan yang lebih manusiawi dan kolaboratif dalam sosialisasi kewajiban royalti. Doa di Badai Holo menegaskan bahwa royalti adalah sumber penghidupan utama bagi para transmisi dan pelanggaran terhadap hak cipta adalah bentuk pengabaian atas kontribusi kreatif mereka. Ia menekankan bahwa ekosistem musik yang sehat hanya akan tercipta jika pelaku usaha dan masyarakat memahami pentingnya menghargai hak ekonomi pencipta. Diskusi ini diakhiri dengan ajakan Agung Dharmasasongko kepada seluruh pihak — pelaku usaha, pemerintah daerah, serta masyarakat umum — untuk bersama-sama membangun budaya kepatuhan terhadap hukum kekayaan intelektual. “Royalti bukan pungutan semata, melainkan jembatan keadilan antara pengguna karya dan penciptanya,” tegas Agung. Tindak lanjutnya, Kantor Wilayah Kemenkum Kalimantan Barat melalui Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual akan melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha, memberikan fasilitas teknis untuk pengurusan lisensi kolektif, serta membuka saluran aduan publik untuk membangun sistem royalti yang adil, transparan, dan partisipatif. Dokumentasi: KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT