PENAMAS.ID, JAKARTA – Pemilik kafe dan restoran banyak yang resah. Pasalnya, Musik yang selama ini menjadi daya tarik pengunjung, mulai dikurangi bahkan dihapus programnya untuk menghindari konsekuensi hukum akibat tidak membayar royalti yang dianggap membebani. Hal itu dikatakan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran. Menurutnya, kasus pelanggaran hak cipta yang menimpa restoran Mie Gacoan di Bali menjadi momentum yang membuat banyak pelaku usaha baru sadar akan berlakunya UU Hak Cipta tahun 2014. Pihaknya menyebut, kondisi ini membuktikan bahwa sosialisasi mengenai kewajiban membayar royalti belum menyeluruh dan dipahami oleh masyarakat. “Banyak kanal-kanal digital yang mereka bisa memperoleh lagu, ada dari YouTube, Spotify, atau mereka punya bank lagu sendiri. Mereka belum paham. Jangankan putar lagu tradisional, kita ciptakan lagu sendiri, putar di tempat usaha pun harus bayar. Mau putar suara burung, itu semuanya bayar,” terang Maulana. Ia menambahkan, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyatakan tarif di Indonesia lebih murah dibandingkan negara lain, persepsi di kalangan pelaku usaha tetap merasa mahal. Masalah lainnya, ketika pelaku usaha berinisiatif ingin membayar, mereka sering kali menagihkan biaya royalti secara retroaktif sejak tahun 2014, yang membuat biayanya menjadi sangat tinggi. “Restoran kan menjualnya makan-minum, bukan lagu. Itu sebagai add-on saja. Begitu kondisinya seperti ini, mereka harus menghitung apakah dengan membayar (royalti), mereka masih mendapatkan revenue yang menarik, atau dengan tidak memutar lagu revenue sama saja,” tegasnya. (Redaksi/Rls/Penamas)