Mataram, Beritasatu.com — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan kewajiban pembayaran royalti musik di hotel, restoran, dan kafe dinilai sangat membebani, terutama di tengah kondisi ekonomi pelaku usaha pariwisata yang masih belum pulih sepenuhnya. Ketua PHRI NTB Ni Ketut Wolini mengungkapkan, kebijakan pembayaran royalti yang harus disetorkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tidak hanya memberatkan secara finansial, tetapi juga menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan LMKN. “Ini terlalu mahal dipungut, dihitung per meter persegi dan dikalikan sekian meter. Sekalipun dibayar setahun sekali, tetap berat karena pengusaha sekarang ini tidak baik-baik saja,” ujar Wolini pada awak media, Kamis (7/8/2025). Wolini menambahkan, selama ini tidak ada perwakilan LMKN di daerah yang seharusnya menjadi tempat para pelaku usaha dapat berkonsultasi terkait teknis pembayaran royalti. Akibatnya, banyak pengusaha yang tidak memahami secara utuh mekanisme, teknis pembayaran, dan konsekuensi hukum jika tidak membayar royalti tersebut. “Saya selaku ketua PHRI saja belum diajak bicara. Kalaupun ada petunjuk teknisnya (juknis) kami tidak tahu itu seperti apa. Masa konsultasi lewat hand phone? Tidak maksimal. Seharusnya LMKN turun langsung ke daerah,” tegasnya. Wolini juga mengungkapkan keresahan pelaku usaha semakin meningkat setelah muncul kabar adanya pengusaha kuliner yang dipidanakan gara-gara memutar musik di tempat usaha tanpa membayar royalti. Kasus yang menyeret salah satu pemilik gerai makanan viral itu menjadi sorotan, termasuk di NTB. “Ada yang sudah kena pidana karena tidak bayar royalti. Ini yang membuat pengusaha semakin takut. Akhirnya banyak yang memilih untuk tidak memutar musik sama sekali di tempat usahanya agar aman,” imbuh Wolini. Menurutnya, dengan beban pajak yang sudah mencapai hampir 30% dari total pendapatan, ditambah kewajiban membayar royalti musik, kondisi ini semakin mencekik pelaku usaha kecil dan menengah di sektor pariwisata dan kuliner. PHRI NTB meminta pemerintah pusat dan DPR mempertimbangkan untuk melakukan revisi terhadap regulasi terkait pembayaran royalti. Menurut Wolini, jika aturan ini dipaksakan dalam kondisi ekonomi daerah yang belum stabil, maka akan semakin menekan pelaku usaha. Wolini menyebut para pelaku usaha hotel, kafe dan restoran di NTB sejak 2018 telah menghadapi masa-masa sulit akibat gempa, disusul pandemi Covid-19 pada 2020 lalu efisiensi anggaran pemerintah pada 2025. Menurutnya, situasi tersebut tidak ideal untuk menanggung beban tambahan seperti royalti musik. Ia mengimbau kepada seluruh pelaku usaha hotel, restoran, dan kafe di NTB agar lebih berhati-hati. Jika memang tidak sanggup membayar royalti, maka disarankan untuk tidak memutar musik demi menghindari sanksi hukum. Sebagai informasi, kewajiban pembayaran royalti diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Berdasarkan regulasi tersebut, pemilik usaha yang memutar karya musik di ruang publik, termasuk hotel, restoran, dan kafe, wajib membayar royalti kepada pencipta lagu melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, hingga kini, belum ada sistem representatif LMKN di seluruh provinsi, termasuk di NTB. Hal inilah yang membuat proses komunikasi dan konsultasi menjadi tidak efektif, sehingga banyak pelaku usaha merasa bingung dan dihantui oleh aturan yang belum dipahami sepenuhnya. Wolini berharap ada forum dialog terbuka antara LMKN, pemerintah daerah, dan pelaku usaha agar peraturan yang baik tidak menjadi momok bagi industri pariwisata dan ekonomi kreatif di daerah. “Kami tidak menolak membayar royalti kalau itu jelas, adil, dan ada komunikasi. Tetapi jangan sampai aturan ini justru membuat pelaku usaha tumbang satu per satu,” pungkasnya. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI)Royalti MusikPembayaran Royalti