KOMPAS.com - Pembicaraan tentang royalti musik yang berdampak pada pelaku usaha ditanggapi beragam oleh masyarakat. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat telah meminta pelaku usaha kafe dan restoran untuk tidak memutar musik.Lantas apa yang mendasari PHRI NTB hingga akhirnya meminta kafe dan restoran untuk tidak memutar musik? Baca juga: Putar Musik Dilarang, Mengapa Penyanyi Kafe Tidak Wajib Bayar Royalti? Ini Penjelasan LMKN dan Kemenkumham Alasan PHRI Meminta Kafe dan Restoran Tidak Putar Musik Imbauan PHRI ternyata disampaikan sebagai bentuk kehati-hatian menghadapi risiko tuntutan pidana terkait aturan pembayaran royalti musik. Dilansir dari Antara, Ketua PHRI NTB Ni Ketut Wolini mengungkapkan bahwa permintaan tersebut dilandasi kekhawatiran atas kasus hukum yang menjerat pengusaha kuliner di wilayah lain. "Kalau memang berat rasanya (membayar royalti) tidak usah memutar lagu biar tidak jadi masalah," ujar Ketut saat ditemui di Mataram, Selasa. Baca juga: Hati-hati, Memutar Musik dari Layanan Streaming di Kafe Tetap Harus Bayar Royalti Meski Sudah Berlangganan Dampak Kasus Royalti Musik terhadap Pelaku Usaha di NTB Ketut menyampaikan bahwa kasus yang menimpa pemilik Mie Gacoan di Bali membuat pelaku usaha kuliner di NTB menjadi cemas."Bayangkan kami di NTB ini tahun 2018 mengalami gempa, kemudian tahun 2019 pandemi Covid, sekarang efisiensi. Bagaimana kami bisa bangkit? Sekarang baru mau bangkit diterpa (royalti musik) seperti ini," katanya. Menurutnya, sebelum aturan dijalankan, pemerintah seharusnya terlebih dahulu melakukan sosialisasi secara luas dan merata agar masyarakat memahami secara utuh ketentuan mengenai royalti musik.PHRI NTB juga menyoroti kabar bahwa penarikan royalti musik bisa dihitung berdasarkan jumlah kursi, dengan nilai mencapai Rp120 ribu per kursi per tahun. Bila sebuah restoran memiliki puluhan kursi, maka beban biaya yang ditanggung bisa menjadi sangat besar. Ketut menyebut hal ini menjadi tambahan tekanan bagi pelaku usaha, terutama di tengah perlambatan ekonomi saat ini. Pexels/Helena Lopes Ilustrasi susasana kafe. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat telah meminta pelaku usaha kafe dan restoran untuk tidak memutar musik. Aturan Royalti Musik di Ruang Publik Isu royalti musik di ruang publik kembali mencuat setelah muncul sengketa antara Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia (LMK Selmi) dengan PT Mitra Bali Sukses (MBS).Regulasi mengenai royalti diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 mengenai pengelolaan royalti lagu atau musik. Aturan ini menegaskan bahwa penggunaan musik di ruang publik termasuk kafe dan restoran wajib disertai izin, meski pelaku usaha telah berlangganan layanan streaming. Berlangganan platform streaming seperti Spotify, YouTube Music, atau Joox tidak otomatis mencakup izin pemutaran musik untuk kebutuhan komersial di ruang publik. Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.