Mataram (Suara NTB) – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyuarakan keberatan terhadap kebijakan pengenaan royalti musik di tempat usaha, seperti restoran, kafe, dan hotel. Ketua PHRI NTB, Ni Ketut Wolini, menilai kebijakan tersebut memberatkan pelaku usaha dan minim sosialisasi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “Sudah ada yang membayar royalti musik dan ada yang belum, karena kami sendiri belum paham mekanismenya. Tidak ada sosialisasi yang jelas, baik dari pusat maupun dari LMKN,” ujar Wolini, Selasa, 5 Agustus 2025, usai menghadiri kegiatan di Kanwil Pajak DJP Nusra. Wolini menyoroti tidak adanya kantor perwakilan LMKN di daerah, termasuk NTB, sehingga pelaku usaha kesulitan mendapat informasi dan konsultasi terkait kewajiban royalti musik. “Kalau hanya lewat HP atau telepon, tidak maksimal. Kami butuh pencerahan langsung. Bagaimana bisa patuh aturan kalau tidak ada yang memberi arahan?” katanya. PHRI NTB juga mengkritik skema pengenaan royalti musik berdasarkan luas ruangan per meter persegi, yang dianggap tidak adil, khususnya bagi pelaku usaha di daerah yang masih dalam tahap pemulihan ekonomi. “Bayarnya memang setahun sekali, tapi tetap berat. Pengusaha belum pulih. Kami sudah terbebani pajak pusat dan daerah, sekarang ditambah royalti musik. Tidak seimbang,” ujarnya. Menurut Wolini, total beban pajak dan pungutan lainnya bisa mencapai 30 persen dari pendapatan usaha, yang dikhawatirkan bisa mematikan sektor pariwisata dan kuliner lokal. PHRI NTB mendesak agar pemerintah pusat dan LMKN meninjau ulang kebijakan ini, serta segera melakukan sosialisasi langsung di daerah. “Undang-undangnya dibuat, tapi tidak ada pencerahan. Yang ada hanya ancaman pidana. Kami ini sedang berjuang, tapi seolah tidak dianggap,” tegasnya. Wolini menambahkan bahwa geliat usaha hanya terasa selama perhelatan Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS) beberapa waktu lalu. Setelah itu, kondisi kembali lesu. “Selama FORNAS seminggu usaha ramai, setelah itu tidur lagi. Tapi pajak tetap jalan, dan sekarang ditambah royalti. Ini sangat berat bagi anggota kami,” tuturnya. Menanggapi keresahan pelaku usaha, PHRI NTB mengimbau agar pengusaha mempertimbangkan untuk tidak memutar musik jika belum siap menanggung biaya royalti. “Daripada jadi masalah hukum, lebih baik tidak usah memutar lagu. Bisa seperti kasus Mie Gacoan yang jadi tersangka karena royalti. Semua lagu sekarang kena royalti,” tutup Wolini. PHRI NTB berharap adanya revisi kebijakan royalti musik di tempat usaha dan kehadiran LMKN di daerah agar pelaku usaha tidak menjadi korban ketidakjelasan aturan. (bul)