JATIMTIMES - Pemberlakuan aturan pembayaran royalti musik di tempat usaha mulai berdampak nyata di Kota Malang. Sejumlah restoran, terutama di kawasan Kayutangan Heritage, memutuskan menghentikan kegiatan live music demi menghindari persoalan hukum karena belum memiliki izin dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mewajibkan pelaku usaha seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan lainnya membayar royalti atas pemanfaatan lagu atau musik komersial. Baca Juga : Shella Saukia Klarifikasi Usai Namanya Dituding Terkait 34 Kosmetik Berbahaya BPOM Ketua PHRI Kota Malang Agoes Basoeki menyebut bahwa hampir seluruh hotel berbintang tiga ke atas di wilayahnya telah mendaftarkan diri ke LMKN. Bahkan mereka telah mematuhi aturan dengan melakukan pembayaran royalti. “Hotel-hotel bintang tiga ke atas rata-rata sudah mendaftar dan tertib membayar royalti,” jelas Agoes, Senin (4/8/2025). Namun tidak demikian dengan sektor restoran. Banyak pengusaha kuliner menolak atau menunda pembayaran royalti karena mengeluhkan besaran tarif yang dianggap memberatkan. Bahkan, sejumlah restoran memilih menghentikan live music secara total. “Beberapa restoran di Kayutangan dan kawasan wisata lainnya mulai hentikan live musik karena belum urus izin atau merasa tarifnya terlalu tinggi,” ujarnya. PHRI Kota Malang dalam waktu dekat akan melakukan koordinasi lanjutan dengan DPD dan DPP PHRI. Hal itu ntuk meninjau ulang skema tarif yang diterapkan LMKN. “Kami akan sampaikan ke pusat agar ada penyesuaian tarif. Bukan menolak, tapi berharap bisa disesuaikan dengan skala usaha,” tegas Agoes. Sementara itu, mengacu pada situs resmi LMKN, tarif royalti untuk restoran tergantung pada luas tempat, frekuensi pemutaran musik, dan kapasitas pengunjung. Untuk restoran kecil, tarif bisa berkisar dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bulan. Sedangkan restoran besar dengan live music reguler bisa membayar hingga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan. Bagi pelaku usaha yang tidak mengantongi izin dari LMKN, sanksi hukum cukup serius bisa diberlakukan. Mulai dari denda hingga penutupan usaha jika terbukti melanggar hak cipta secara komersial. Banyak pengusaha restoran mengaku belum mengurus sertifikat dan izin karena merasa kebijakan ini belum tersosialisasi dengan maksimal, sehingga mereka memilih menghindari risiko dengan cara menyetop pertunjukan live music. Baca Juga : Simpang Siur Kestrukturan Pragaan Fair 2025, Panitia Sebut Pihak Kecamatan Bungkam Sementara itu, salah satu karyawan Rocket Kopi, Atana Aminatun Nadiyah mengaku pihaknya masih memutar lagu-lagu. Meski isu royalti musik belakangan ini ramai diberitakan di berbagai media. “Kami tetap memutar lagu-lagu dari platform musik seperti biasa. Sampai saat ini masih belum ada teguran atau peringatan resmi yang kami terima akan hal itu,” terang Atana. Atana menegaskan bahwa pemutaran musik di Rocket Kopi bukan diperuntukkan untuk komersialisasi, melainkan sebagai bagian dari pengalaman yang ditawarkan kepada pengunjung. Menurutnya, musik merupakan elemen penting dalam menciptakan suasana nyaman dan santai di kafe. “Kalau kita jadi customer dan datang ke kafe tanpa musik, pasti rasanya kurang. Musik bisa menjadikan suasana jadi hidup apalagi saat berbincang atau nongkrong bareng teman,” jelasnya. Meski menyadari adanya regulasi terkait royalti musik, Atana mengaku kurang setuju jika pemutaran lagu di ruang publik seperti kafe harus sepenuhnya dibatasi. Ia menilai, pelaku usaha seperti mereka hanyalah penikmat musik, bukan menjiplak lagu. “Kami hanya menikmati musik. Tidak ada niat untuk menjiplak lagu atau mengklaimnya. Jadi kalau harus dilarang sepenuhnya, rasanya kurang adil,” ungkapnya. Disisi lain, Rocket Kopi juga mengaku terbuka jika suatu saat pemerintah atau lembaga terkait mengharuskan adanya pembayaran lagu secara resmi.