JAKARTA, KOMPAS.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta mendukung aturan pembayaran royalti musik yang diputar di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hingga hotel. Namun, PHRI meminta agar skema pembayaran tidak membebani pelaku usaha, khususnya hotel kecil dan menengah. “Jangan sampai niat baik untuk melindungi hak cipta justru meruntuhkan daya saing sektor lain, terutama hotel-hotel kecil dan menengah yang sedang berjuang untuk bertahan sekedar hidup,” ujar Ketua PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono saat dikonfirmasi, Jumat (1/8/2025).Baca juga: Menilik Kewajiban Bayar Royalti bagi Pengusaha Kafe, Gym, Hotel, dan Toko PHRI menilai kondisi perhotelan saat ini masih sulit. Setelah terpukul pandemi, industri hotel harus menghadapi kenaikan biaya listrik, air, pajak, dan beban operasional lain. Sementara itu, tingkat hunian tamu disebut masih rendah, bahkan cenderung menurun dalam beberapa bulan terakhir. Karena itu, PHRI berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bisa menjadi penengah antara pelaku usaha dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam menerapkan aturan pembayaran royalti. Menurut mereka, aturan royalti perlu dibuat transparan, adil, dan proporsional. “Kami juga berharap ada sosialisasi yang masif dan mekanisme yang akuntabel dalam penarikan maupun penggunaan dana royalti tersebut,” kata dia.Baca juga: Menkum Ingin Platform Streaming Musik Bayar Royalti ke Pencipta Lagu Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkum Agung Damarsasongko mengatakan, aturan tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya. Pasalnya, langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik. “Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” kata Agung dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025). Agung mengatakan, pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait. Baca juga: Menkum Tegaskan Putar Musik di Ruang Komersial Wajib Bayar Royalti Skema ini memastikan transparansi dan keadilan bagi seluruh pelaku industri musik, serta memudahkan pelaku usaha karena tidak perlu mengurus lisensi satu per satu dari setiap pencipta lagu. “Hal ini memberikan keseimbangan agar pencipta atau pemilik hak terkait musik/lagu mendapatkan hak ekonominya, serta pengguna merasa nyaman dalam berusaha atau menggunakan lagu,” ujarnya. Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.