Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

PHRI dan Pelaku Usaha Kafe di Yogya Soroti Kebijakan Putar Musik

TEMPO.CO, Yogyakarta - Kalangan pelaku usaha restoran dan kafe di Yogyakarta merespon kebijakan lisensi dan pembayaran royalti aturan memutar musik yang mulai gencar diatur pemerintah.Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta Deddy Pranowo Eryono menuturkan, sejak aturan ini mencuat, pihaknya telah menghimbau kepada seluruh anggota PHRI terutama usaha restoran agar menghindari masalah hukum terkait royalti dan menaati peraturan. Ada sekitar 75 restoran kategori menengah-besar yang terdaftar menjadi anggota PHRI DIY. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Namun pihaknya belum bisa melakukan sosialisasi kebijakan tersebut ke para anggota karena belum mendapatkan pedoman dari PHRI pusat. "Untuk secara detail bagi keperluan sosialisasi kami belum mendapat panduan dari pengurus pusat, hanya saja kami melihat penerapannya mungkin agak sulit di lapangan," kata Deddy, Rabu 30 Juli 2025.Menurut Deddy kendala di lapangan terkait ketentuan adalah masalah teknis. Misalnya jika restoran akan mendaftarkan lisensi dan pembayaran royalti, bagaimana prosedurnya. Juga soal hak dan kewajiban yang diterima pelaku usaha restoran, serta berapa kali proses itu harus dilakukan."Kita bisa mendapatkan informasi soal itu dari mana, apakah lembaga yang ditunjuk LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) atau seperti apa," kata dia.Kafe kecil tidak setujuSalah satu pengelola kafe di kawasan Mancasan Kota Yogyakarta, Ibun, 21 tahun, mengatakan tidak setuju terdapat kebijakan tersebut. Pengunjung kafenya kebanyakan pelajar sekolah, harga menunya ramah di kantong sekitar Rp 4-7 ribu. Sebagai bagian dari layanan, dia memutar musik yang kebanyakan lagu-lagu berbagai genre, dari musisi luar negeri dan kadang dari Indonesia "Kalau saya pribadi tak setuju jika semua kafe disamaratakan untuk membayar royalti setiap memutar musik, apalagi untuk kafe-kafe kecil yang berada di dalam kampung, bukan di hotel atau pinggi jalan besar," kata dia.Menurutnya, jika aturan pendaftaran lisensi dan royalti ini disamaratakan, maka kafe-kafe kecil bakal memilih tak memutar musik. Dampaknya kafe akan kehilangan pelanggan dan mati. "Kalau tanpa musik, suasana kafe jelas jadi sepi, pelanggan jadi tak tertarik," kata dia yang menuturkan kafe itu setiap harinya rata-rata disambangi 50-70 orang.Penggunaan musik belisensi resmiKepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum DIY Agung Rektono Seto menegaskan pentingnya penggunaan musik berlisensi resmi bagi seluruh pelaku usaha restoran, kafe, dan tempat makan di wilayah DIY tanpa kecuali. "Kami mengajak untuk lebih taat dan sadar terhadap hak cipta, khususnya dalam penggunaan musik sebagai bagian dari atmosfer layanan mereka.“Kami mengimbau seluruh pemilik resto dan kafe agar tidak lagi menggunakan musik dari sumber tidak resmi, termasuk pemutar pribadi, flashdisk, atau layanan daring yang tidak memiliki lisensi. Musik yang diputar di tempat usaha adalah bentuk pemanfaatan komersial yang wajib mendapatkan izin dari pemilik hak cipta atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK),” kata dia.Banyak pelaku usaha di sektor makanan dan minuman masih belum memahami bahwa memutar musik di area publik termasuk dalam kategori penggunaan komersial, bukan pribadi. Artinya, setiap lagu yang diputar di restoran, kafe, kedai kopi, maupun tempat makan lainnya terikat dengan aturan hukum hak cipta. Tentu saja tidak gratis dan memerlukan lisensi resmi dari pemilik hak atau LMK yang mewakili para pencipta dan pemegang hak terkait.“Kami ingin memberikan edukasi bahwa pelanggaran hak cipta musik bukan hanya berdampak pada aspek hukum, seperti sanksi administratif hingga pidana, tetapi juga bisa merusak reputasi usaha dan mengganggu keberlangsungan operasional,” kata Agung.