PEKANBARU – Sektor perhotelan di Riau kembali terpukul akibat stagnasi kegiatan pemerintahan yang selama ini menjadi penopang utama tingkat hunian hotel. Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Riau, Nofrizal, menyebut stagnasi ini telah menyeret sejumlah sektor pendukung ke dalam keterpurukan, mulai dari penyedia transportasi, katering, hingga pelaku UMKM. "Biasanya kan itu di awal tahun, apalagi sampai pertengahan ini sudah hampir 50 persen pelaksanaan kegiatan di setiap sektor pemerintahan. Sampai hari ini kan tidak berlangsung. Nah, itu tentu bagi hotel-hotel yang menyiapkan tempat, fasilitas, itu sangat terpukul," kata Nofrizal kepada GoRiau, Senin (9/6/2025) di Pekanbaru.Menurutnya, tren kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat yang diteruskan secara linier ke tingkat provinsi hingga kabupaten/kota menyebabkan absennya kegiatan berskala besar di ruang tertutup. Padahal, kegiatan tersebut menjadi tulang punggung pendapatan bagi banyak hotel.Lesunya sektor perhotelan, lanjut Nofrizal, bukan hanya dirasakan oleh pelaku hotel berbintang, tetapi juga menghantam rantai ekonomi yang lebih luas. "Karena sektor pendukung perhotelan itu kan sangat banyak. Karena bisnis hotel keterkaitannya dengan sektor lain sangat luar biasa. Contoh, perjalanan dinas, pengadaan makan minum, transportasi, UMKM, terus laundri, semua. Bahkan itu membuat sektor-sektor lain jadi lesu," ujarnya.Perjalanan dinas yang berkurang turut menggerus permintaan akan berbagai layanan jasa perhotelan. "Kalau kegiatan tidak ada, otomatis kunjungan menurun. Kalau kunjungan menurun, gairah pelaku usaha juga akan ikut merosot," jelasnya.Ia menegaskan bahwa sektor pariwisata dan perhotelan tidak bisa hanya bergantung pada tamu individu atau liburan akhir pekan. "Memang ada yang berlibur, orang Riau ke Sumbar atau sebaliknya. Tapi itu tidak cukup menopang industri secara keseluruhan," katanya.Di sisi lain, kunjungan wisatawan mancanegara ke Provinsi Riau terus mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, hanya 4.872 turis asing yang masuk ke Riau pada April 2025. Angka ini turun 10,74 persen dibanding Maret 2025 dan merosot 43,86 persen dibanding periode yang sama tahun lalu."Penurunan ini menunjukkan tren negatif yang konsisten dan mengkhawatirkan. Perlu intervensi segera untuk mencegah dampak yang lebih luas," ujar Local Expert Kementerian Keuangan RI untuk Riau, Dahlan Tampubolon, Senin (2/6/2025).Menurut Dahlan, turunnya kunjungan turis asing berdampak besar terhadap ekosistem ekonomi pariwisata lainnya. Pelaku UMKM seperti pengrajin, pedagang suvenir, hingga pemasok bahan makanan untuk hotel dan restoran ikut terpukul karena penurunan daya beli wisatawan asing.Sektor kuliner juga terdampak. "Warung dan restoran yang biasa dikunjungi turis asing kehilangan pasar. Ini berdampak ke petani, nelayan, dan distributor bahan pangan lokal," ungkapnya.Tekanan juga mulai dirasakan sektor perhotelan. Jika situasi terus berlanjut, hotel-hotel terpaksa melakukan efisiensi yang bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja. "Hal ini tentu berpotensi meningkatkan angka pengangguran, baik di sektor formal maupun informal yang terhubung langsung dengan pariwisata," jelasnya.Meski semangat untuk bertahan tetap dijaga, menurut Nofrizal, ruang untuk melakukan inovasi di tengah minimnya permintaan tetaplah terbatas. "Inovasi hanya bisa berjalan jika ada kegiatan yang menopang. Sekarang yang bisa dilakukan hotel adalah bertahan sekuat tenaga sambil tetap menjaga mutu layanan," tuturnya.Ia menegaskan bahwa pelaku usaha tidak menuntut pemerintah sepenuhnya menjadi penyelamat, namun setidaknya dapat menjadi penggerak awal atau stimulus ekonomi. "Kebijakan pemerintah selalu menjadi sinyal. Ketika pemerintah stagnan, sektor swasta ikut pasif. Tidak mungkin pelaku usaha menghamburkan uang di tengah ketidakpastian," ujarnya.Nofrizal berharap pemerintah segera melakukan terobosan, terutama dalam hal kemudahan berkunjung dan peningkatan rasa aman di destinasi wisata. "Kalau infrastruktur buruk, keamanan rendah, dan harga barang mahal, siapa yang mau datang? Orang tidak akan nyaman berkunjung," katanya.Nofrizal juga mengkritik kecenderungan beberapa pihak yang menyalahkan pengusaha saat pendapatan daerah anjlok karena pajak menurun. Menurutnya, dalam kondisi ekonomi yang terpuruk, kemampuan pelaku usaha untuk membayar pajak juga menurun."Pajak itu wajib, iya. Tapi kalau break even point saja tidak tercapai, jangankan untuk bayar pajak, untuk bertahan saja susah. Jadi jangan hanya menagih kewajiban, tapi pahami juga logika ekonomi," ujarnya.Ia menyebut saat ini banyak hotel hanya bisa bertahan sebisanya. Hotel berbintang terpaksa menekan biaya sedemikian rupa, sementara hotel nonbintang bertahan dengan kondisi apa adanya."Kalau hotel hanya mengandalkan tamu menginap saja tanpa layanan yang berkualitas, lambat laun akan mati juga. Orang tidak mau bayar mahal kalau pelayanannya biasa-biasa saja," ucapnya.Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, pelaku industri perhotelan di Riau berharap pemerintah segera hadir dengan kebijakan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga strategis dan berpihak pada pemulihan ekonomi. Tanpa langkah konkret, bukan tidak mungkin sektor yang selama ini menjadi salah satu wajah pariwisata daerah justru akan lumpuh perlahan. ***