Awan gelap menggelayuti industri perhotelan dan restoran di DI Yogyakarta. Badai bertubi menghantam dan mengancam salah satu pilar utama perekonomian provinsi itu.Tahun 2025 tampaknya bukan tahun yang ramah bagi industri keramahtamahan atau hospitality Tanah Air, terutama di DI Yogyakarta. Sejumlah aral memberi tekanan besar pada sektor perhotelan dan restoran.Pukulan telak pertama datang dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan itu sejatinya bertujuan baik, yakni menghemat keuangan negara, salah satunya dengan mencegah pemborosan pada pos-pos pengeluaran pemerintah pusat dan daerah.Namun, bagi industri perhotelan, ini menjadi mimpi buruk. Pasalnya, kegiatan rapat, pertemuan, seminar, atau konvensi di hotel dan restoran yang selama ini lazim dilakukan instansi pemerintahan menjadi pos pengeluaran yang dipangkas.Padahal, porsi kegiatan pertemuan (meetings), insentif (incentives), konvensi (conventions), dan ekshibisi (exhibitions) atau MICE pemerintahan bagi bisnis hotel bukanlah kecil. Apalagi, DIY merupakan daerah tujuan favorit MICE di Tanah Air.Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranowo Eryono menyebut, kegiatan MICE pemerintah selama ini berkontribusi sekitar 40 persen dalam mengisi okupansi dan pendapatan hotel. Karena itulah, ketika kegiatan tersebut seret, industri perhotelan pun terguncang.Kekhawatiran soal ini telah diutarakan Deddy sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2025 itu resmi berlaku pada 22 Januari 2025. Lima bulan berjalan, kekhawatiran tersebut terbukti menjadi kenyataan.Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo, pada Kamis (5/6/2025), menyebutkan, tingkat hunian hotel berbintang di Kota Yogyakarta rata-rata saat ini di bawah 60 persen. Kondisi lebih buruk dialami hotel nonbintang, yang tingkat huniannya rata-rata hanya sekitar 30 persen.Situasi ini membuat hotel dan restoran harus memangkas pengeluaran untuk mengimbangi susutnya pemasukan. Pada Selasa (3/6/2025), Dedy mengungkapkan, lebih kurang 5.000 pekerja hotel dan restoran di DIY terpaksa dirumahkan sementara waktu.Sekitar 20 persen dari 2.300 hotel dan restoran di DIY mengambil langkah tersebut. Namun, Deddy menyebut, karyawan yang dirumahkan itu tetap mendapat gaji pokok dan sewaktu-waktu akan dipanggil kembali ketika tamu meningkat.Adapun hotel yang tidak merumahkan pekerja menempuh jalan lain untuk memangkas biaya agar kelangsungan usaha tetap terjaga. Salah satunya dengan menghemat pemakaian listrik dan air.Namun, efisiensi anggaran pemerintah bukanlah satu-satunya faktor keterpurukan hotel dan restoran di DIY. Ada badai lain yang turut menghantam, yakni kebijakan sejumlah pemerintah daerah melarang sekolah melakukan kegiatan study tour atau karyawisata ke luar kota menyusul banyak kasus kecelakaan bus pariwisata beberapa waktu lalu.Kebijakan itu, di antaranya, diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Lagi-lagi, hal tersebut berdampak langsung pada perhotelan dan restoran di DIY.Sebagai daerah pariwisata, DIY juga menjadi tujuan favorit karyawisata siswa sekolah, terutama dari ketiga provinsi tersebut. Setiap musim liburan sekolah, parkiran hotel-hotel di Yogyakarta dipenuhi bus-bus besar rombongan karyawisata. Namun, pemandangan itu tak lagi marak ditemui.Dua badai besar tersebut masih ditambah lagi dengan kecenderungan pelemahan daya beli masyarakat saat ini. Dampaknya terhadap sektor pariwisata secara umum pun terasa, yang muaranya berimbas pada penurunan okupansi hotel dan restoran juga.Laporan Indonesia Economic Outlook Q2-2025 LPEM FEB UI menyebutkan, pada periode libur akhir tahun 2024, masyarakat cenderung memilih untuk berlibur dan melakukan aktivitas wisata ke destinasi yang lebih dekat secara jarak. Hal ini menyiratkan pelemahan daya beli seiring dengan mengecilnya pengeluaran untuk kebutuhan tersier.Kelesuan industri perhotelan dan restoran ini pun direspons Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian. Pada Rabu (4/6/2025), Tito menyatakan, pemerintah daerah diperbolehkan menggelar kegiatan di hotel dan restoran. Menurut Tito, pertemuan di hotel ataupun restoran dapat dilakukan sepanjang benar-benar bermanfaat dan tidak berlebihan. Ini agar sektor perhotelan dan restoran tetap hidup di tengah efisiensi.Pernyataan itu pun disambut gembira pemda di DIY dan PHRI DIY. Bagi pemda, khususnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, sektor perhotelan dan restoran merupakan salah satu penyumbang utama pendapatan asli daerah melalui pajak hotel dan restoran.Belum lagi jika memperhitungkan lapangan kerja yang diserap sektor tersebut, termasuk sektor-sektor lain yang bergantung padanya. Ini mencakup penyedia katering, event organizer, jasa transportasi, penjual oleh-oleh, warung makan, serta berbagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lainnya.Sinyal positif dari Mendagri tersebut menjadi angin segar bagi pemulihan sektor perhotelan dan restoran. Meski demikian, dampaknya untuk membalik keadaan masih dipertanyakan mengingat anggaran yang dikelola pemda tetap terbatas sebagai hasil efisiensi awal tahun.Hal ini pun disiratkan Hasto Wardoyo dan Pelaksana Harian Sekretaris Daerah DI Yogyakarta Tri Saktiyana saat ditanyai terpisah pada Kamis (5/6/2025). Penyelenggaraan kegiatan di hotel atau restoran hanya akan dipilih sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran.Tri, misalnya, mengatakan, kegiatan di hotel akan dilakukan jika dinilai lebih efektif dan efisien biayanya ketimbang digelar di kantor. Hal ini mempertimbangkan anggaran yang dimiliki Pemda DIY.Adapun Hasto menyebut, Pemerintah Kota Yogyakarta kemungkinan bisa menggelar acara di hotel ketika melibatkan narasumber dari beberapa wilayah. Sementara untuk acara internal dengan peserta 100-200 orang, Hasto memilih tetap memakai ruangan sendiri.Deddy Pranowo Eryono juga menyadari, pernyataan Mendagri itu tak mudah diimplementasikan mengingat keterbatasan anggaran pemda saat ini. Meski demikian, dia berharap pemda bisa tetap merealisasikan hal tersebut dengan anggaran yang ada.Terlepas dari itu, Deddy mengatakan, anggota PHRI juga tak berpangku tangan dengan situasi ini. Mereka menggencarkan berbagai upaya untuk mencari pasar baru, salah satunya melalui promosi bersama anggota PHRI ke sejumlah daerah.Selain itu, harapan juga masih terkembang mengingat status DIY sebagai daerah tujuan wisata utama di Tanah Air. Modal fundamental ini, disebut Deddy, membuat peluang untuk bertahan melalui badai lebih baik ketimbang sektor perhotelan dan restoran di daerah lain.