SAMARINDA – Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah daerah di Kalimantan Timur membawa efek domino yang memukul sektor pariwisata, terutama industri hotel. Hotel-hotel yang selama ini mengandalkan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) dari instansi pemerintah kini harus menghadapi kenyataan baru: kamar kosong, tenaga kerja dikurangi, layanan menurun. Dalam kondisi itu, Dinas Pariwisata Kalimantan Timur mencoba merespons dengan menggelar diskusi bertajuk Bincang-Bincang Pariwisata I 2025 di Samarinda, Rabu (4/6/2025). Mengangkat tema “Pariwisata yang Kuat di Tengah Efisiensi Anggaran: Kolaborasi dan Inovasi”, forum ini menjadi ruang berbagi strategi bertahan di tengah gelombang pengetatan anggaran. Kepala Dinas Pariwisata Kaltim, Ririn Sari Dewi, tak menampik bahwa kegiatan MICE menjadi sektor yang paling terdampak. Tapi, menurutnya, inilah momen untuk beralih dan membuka pasar wisata yang lebih tahan terhadap perubahan kebijakan. “Ini juga saatnya kita membuka pasar baru seperti wisata keluarga dan individu,” ujarnya. Ririn menyebut empat pendekatan yang kini menjadi fokus: diversifikasi pasar, promosi digital, pengembangan wisata berbasis komunitas, dan penggunaan teknologi dalam operasional. Semua itu, katanya, butuh sinergi: antara pelaku usaha, komunitas lokal, dan pemerintah daerah. Diskusi berkembang lebih jauh. Pelatihan SDM perhotelan, aktivasi event lokal, hingga paket promosi bersama antar pelaku usaha diusulkan sebagai jalan keluar. Namun, di lapangan, tekanan ekonomi sudah begitu terasa. Armunanto Somalinggi, General Manager Grand Kartika Hotel sekaligus Wakil Ketua PHRI Samarinda, mengungkapkan kenyataan pahit yang dihadapi pelaku usaha. Hotel-hotel di Samarinda, kata dia, sangat bergantung pada belanja instansi. “Sekitar 70 persen pendapatan hotel kami berasal dari kegiatan pemerintahan,” ujarnya. “Ketika semua dihentikan, kami langsung terpukul. Hotel non-bintang paling merasakan dampaknya.” Ia membandingkan daya tahan hotel jaringan nasional dengan hotel lokal. Hotel besar masih bisa bertahan karena memiliki kontrak jangka panjang dan basis pasar yang lebih stabil. Sementara hotel lokal banyak yang belum siap. “Kami di hotel lokal baru menyadari pentingnya itu sekarang. Ini jadi pelajaran penting untuk memperkuat fondasi usaha,” ucapnya. Menurut Armunanto, penyelenggaraan event berskala besar menjadi salah satu harapan tersisa untuk mengisi kamar-kamar kosong. Ia mencontohkan saat MTQ Nasional digelar, tingkat hunian melonjak drastis hingga hotel harus menolak tamu. “Waktu MTQ kemarin, hotel sampai menolak tamu karena penuh. Ini bukti konkret betapa pentingnya event dalam menggerakkan ekonomi pariwisata,” tegasnya. Tak hanya pemerintah, ia juga mendesak perusahaan besar — khususnya di sektor tambang — untuk terlibat menciptakan kegiatan yang menarik kunjungan wisatawan. Selain itu, ia berharap adanya relaksasi dari pemerintah, sebagaimana yang pernah diberikan saat pandemi. “Hotel bisa bertahan kalau ada dukungan nyata. Kalau tidak, akan banyak yang tutup dalam diam,” pungkasnya. (*)