Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

5.000 Pekerja Dirumahkan, PHRI DIY: ”Saturasi Napas” Kami Sudah Rendah

Lesunya industri perhotelan dan restoran di DI Yogyakarta merupakan imbas kebijakan efisiensi anggaran pemerintah dan larangan study tour dari sejumlah daerah.YOGYAKARTA, KOMPAS — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia DI Yogyakarta menyebut, sedikitnya 5.000 pekerja hotel dan restoran dirumahkan sementara waktu. Hal ini menyusul kelesuan industri hotel dan restoran yang terdampak sejumlah kebijakan pemerintah.Hal tersebut disampaikan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranowo Eryono saat ditemui di Yogyakarta, Selasa (3/6/2025). ”Pekerja yang dirumahkan berasal dari hotel non-bintang sampai bintang 5 serta restoran kecil hingga besar,” katanya.Deddy menjelaskan, jumlah hotel dan restoran yang merumahkan karyawan itu mencakup lebih kurang 20 persen dari lebih kurang 2.300 anggota dan non-anggota PHRI DIY.Karyawan yang dirumahkan tetap menerima gaji pokok. Namun, mereka tidak mendapat insentif, tunjangan, atau bonus.Menurut Deddy, karyawan yang dirumahkan statusnya standby. Mereka sewaktu-waktu akan dipanggil kembali saat tamu hotel dan restoran meningkat.”Kami masih berkomitmen tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK),” ucapnya.Kebijakan merumahkan karyawan ini, kata Deddy, terutama terjadi pada hotel dan restoran yang banyak mengandalkan kegiatan pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran atau meetings, incentives, conventions, and exhibitions (MICE).Segmen itu terpukul paling besar oleh kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 sejak 22 Januari 2025.Dampaknya, antara lain, dipangkasnya kegiatan rapat dan seminar di luar kantor serta perjalanan dinas dan acara seremonial.Padahal, kata Deddy, aktivitas MICE pemerintah berkontribusi sekitar 40 persen terhadap okupansi hotel. MICE juga membantu mengisi okupansi hotel yang biasanya rendah pada Senin hingga Kamis.Selain itu, Deddy menyebut, industri hotel dan restoran di DIY juga terpukul dengan kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang melarang kegiatan study tour atau karyawisata sekolah. Yogyakarta selama ini menjadi daerah favorit tujuan study tour dari sejumlah provinsi.Deddy berharap, dua kebijakan itu bisa ditinjau ulang atau setidaknya dilakukan pelonggaran agar sektor perhotelan dan restoran bisa menggeliat kembali. ”Ibaratnya saat ini napas kami saturasinya sudah rendah,” tuturnya.PHRI DIY sebenarnya telah berupaya meminta kepada pemerintah kota/kabupaten untuk memberikan relaksasi pajak dan subsidi layanan air dari PDAM.”Kami ajukan bulan lalu, tetapi sampai saat ini surat kami belum ditanggapi,” ujar Deddy.Sementara itu, hotel-hotel yang tidak merumahkan karyawan menempuh jalan lain untuk menekan biaya operasional guna mengimbangi pendapatan yang menurun. Salah satunya menghemat pemakaian listrik dan air.Hal itu, misalnya, dilakukan Hotel Emersia Malioboro di Kota Yogyakarta. General Manager Emersia Malioboro Totok Budiyanto mengatakan, okupansi bulanan saat ini anjlok sekitar 20 persen. Kondisi itu berimbas pada turunnya pendapatan hotel sebesar 15 persen.”Kami tidak sampai merumahkan karyawan, tetapi memilih menghemat pemakaian listrik dan air,” katanya.Salah satu contohnya, mematikan lampu-lampu di lobi hotel lebih awal, dari biasanya pukul 23.00 WIB menjadi pukul 21.00 WIB. Penggunaan lift juga disiasati. Dari biasanya dua unit yang dioperasikan, menjadi satu saja.Strategi tersebut, menurut Totok, cukup efektif menekan biaya operasional di tengah menurunnya pendapatan hotel. ”Prioritasnya sekarang kita menyelamatkan dulu karyawan dan hotel bisa tetap beroperasi,” ujarnya.Senada Deddy, Totok pun berharap kebijakan efisiensi anggaran pemerintah bisa dilonggarkan. Hal itu dinilainya akan memengaruhi daya beli masyarakat.”Perjalanan dinas, misalnya, kalau bisa jangan dihentikan total, tapi dikurangi separuh saja. Ini agar peredaran uang di industri perhotelan tetap ada,” katanya.