PIKIRAN RAKYAT – Efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai berdampak signifikan terhadap industri perhotelan nasional. Penurunan tingkat hunian (okupansi) hotel yang tajam memicu gelombang pengurangan jam kerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai daerah. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyebut kombinasi antara turunnya daya beli masyarakat dan kebijakan efisiensi pemerintah telah memukul keras sektor perhotelan. Ia memperkirakan setengah dari sekitar satu juta tenaga kerja di industri ini terdampak pemangkasan, seiring menurunnya kegiatan yang biasa digelar oleh pemerintah di hotel-hotel. “Biasanya rasio satu kamar hotel bisa menyerap lima hingga tujuh tenaga kerja. Kini angkanya turun drastis menjadi sekitar tiga pekerja per kamar,” ujar Maulana. Baca Juga: Prihatin PHK Melonjak! Puan Maharani Dorong Pemerintah Dampingi Transisi Pekerja Formal Ancaman Gelombang PHK INFOGRAFIS - Tren pemberhentian hubungan kerja (PHK) dalam 3 tahun terakhir mengalami kenaikan pasca-covid. Dari data PHRI Jawa Barat, sekitar 3.000 pekerja hotel telah mengalami pengurangan jam kerja. Hal ini dipicu oleh rendahnya tingkat okupansi yang rata-rata hanya mencapai 35 persen, jauh di bawah ambang batas ideal untuk beroperasi normal yakni 50 persen. Ketua PHRI Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, mengatakan langkah pengurangan jam kerja terpaksa diambil demi menghindari PHK. Sistem kerja bergilir, tiga hingga empat hari per minggu, diterapkan sebagai solusi sementara. Namun, beberapa hotel di Bogor bahkan terpaksa tutup dan melakukan PHK terhadap puluhan karyawannya. “Komponen biaya operasional terbesar ada pada pekerja, sekitar 26 persen. Jadi, saat okupansi menurun, penyesuaian pada jam kerja menjadi langkah yang paling realistis,” kata Dodi, Rabu 7 Mei 2025. Baca Juga: Dukung Instruksi Presiden Prabowo, Pemprov Jawa Barat Siap Bentuk Satgas PHK Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kondisi tak kalah memprihatinkan. Ketua PHRI DIY, Dedi Pranowo Eryono, menyebut sekitar 5.800 pekerja hotel dan restoran masih berstatus dirumahkan tanpa digaji hingga awal Mei 2025. Minimnya aktivitas pemerintah pusat, terutama kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), menjadi penyebab utama lesunya industri perhotelan di daerah tersebut.