Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Pelaku Usaha Hotel di Jawa Timur Resah, saatnya Pemerintah Turun Tangan

Kahar Salamun (kiri) dan Firman S Permana (kanan). (foto/nanang) Surabaya, (pawartajatim.com) – Sektor pariwisata perhotelan sedang tidak baik-baik saja. Mengapa negara terkesan lambat? Kebijakan perang tarif dagang yang dilakukan Amerika Serikat memiliki dampak pada dunia global secara luas. Tidak hanya bagi Rusia, Tiongkok, India, Malaysia, dan Singapura, tetapi juga Indonesia. Presiden Donald Trump, yang mengenakan kebijakan tarif bea ekspor dan impor sebesar 43 prosen kepada Indonesia, sangat dirasakan dampaknya pengusaha Indonesia. Terutama berkaitan dengan pemenuhan berbagai suku cadang mesin. Termasuk sparepart lift yang ada di hotel – hotel. Hal ini diperparah dengan terbitnya Instruksi Presiden (inpres) Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Instruksi yang bertanggal ini ditujukan kepada berbagai pejabat negara. Mulai dari Menteri Kabinet Merah Putih, Panglima TNI, Kapolri, hingga Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Terbitnya Inpres Tanggal 22 Januari 2025 ini, menyebabkan penghematan anggaran sebesar 40 prosen. Pos belanja pegawai dan belanja kegiatan berkurang banyak. Sehingga kegiatan pertemuan dan akomodasi di hotel ditiadakan atau berkurang jauh. Tentu saja kondisi ini sangat dirasakan oleh para pelaku industri perhotelan. Pendapatan mereka berkurang drastis dan signifikan. Kondisi ini hampir mirip dengan situasi pada saat pandemi covid-19. Dimana hotel dipaksa untuk  bertahan dalam situasi yang teramat sulit. Dengan okupansi dibawah 50 prosen, ditambah lagi beratnya biaya operasional yaitu listrik, gaji pegawai, dan pajak. Adalah Kahar Salamun Penasehat dan Firman S Permana, Ketua Bidang Media Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Timur/Jatim, yang menyampaikan keprihatinan kondisi ini kepada media melalui ajang curhat informal di kantor PHRI Jatim Komplek Hotel Elmi Jl. Panglima Sudirman Surabaya, Rabu (23/4). Kegundahan para petinggi PHRI Jatim ini sangat beralasan, mengingat jumlah hotel di Jatim terbanyak ke-4 di Indonesia, setelah Jakarta Jawa Barat dan Bali. “Kami berupaya keras menghindari PHK, yang bisa dilakukan adalah melakukan efisiensi dengan mengurangi dan menghentikan pekerja harian, dan tenaga magang,” kata Kahar Salamun, yang juga General Manager/GM Hotel Majapahit ini. Walaupun tidak populis, langkah kecil namun strategis, signifikan, dan rasional ini terbukti mampu menjaga kesinambungan dan keberlangsungan mata rantai ekonomi di Surabaya dan Jatim. Beberapa daerah di luar Jatim banyak hotel yang tutup dan berhenti operasi. Sementara di Jatim banyak yang sedang berjuang keras untuk bertahan dengan melakukan berbagai langkah efisiensi. ‘’Pemberlakuan upah minimum sektoral kota (UMSK) sebesar 12 persen juga menjadi persoalan tersendiri,” tambah Firman S Permana. Berbagai upaya sudah dilakukan PHRI Jatim, termasuk bersurat kepada Gubernur selaku Kepala Daerah dan perwakilan pemerintah pusat. Surat sudah dilayangkan sejak tiga bulan yang lalu. Namun hingga saat ini belum ada jawaban seperti yang diinginkan. Padahal dalam audiensi tersebut, diharapkan Pemprov Jatim dan PHRI bisa diskusi dari hati ke hati. Sehingga ada solusi konkret dan nyata atas permasalahan industri perhotelan. Relaksasi pajak, penangguhan UMSK, ekspos agenda kegiatan desa masif dan komprehensif, bisa menjadi solusi kongkret. ‘’Relaksasi pajak di beberapa daerah terbukti bisa menahan turunnya PAD,’’ jelas Firman. Keinginan PHRI Jatim untuk duduk bersama dengan pemerintah selaku pengambil kebijakan menjadi sesuatu yang penting dan mendesak. Mengingat ketidakpastian  kondisi di Jatim pasti berpengaruh pada stabilitas nasional. (nanang)